BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Hadits adalah pedoman umat islam setelah Al-quran yang wajib
di imani oleh setiap orang yang mengaku diri mereka muslim. Kaum muslimin meyakini bahwa Al-Hadits
merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qur’an. Keberadaannya merupakan
realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an. Hal ini
karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa ajaran dan sekaligus menjelaskan apa
yang terkandung dalam ajaran itu yakni al-Qur’an. Sedangkan hadits itu sendiri
hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Qur’an itu
sendiri.[1]
Berbicara tentang hadits pada masa rasulullah berarti
membicarakan awal mula hadits tersebut. Rasulullah SAW membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini
merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus diwurudkannya hadits.
Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai
pewaris pertama ajaran islam [2]. Segala ucapan dan prilaku nabi merupakan
patokan dan pedoman para sahabat dalam beraktifitas dan menjalani kehidupan
mereka.
Namun dalam pengaplikasiannya, Rasulullah SAW melarang
penulisan hadits tersebut dan sewaktu-waktu memperbolehkan untuk menulisnya.
B. MASALAH
Dari penjelasan di atas, timbul beberapa permasalahan yaitu :
1)
Mengapa rasulullah melarang untuk menulis hadits
tersebut ?
2)
Mengapa Rasulullah SAW juga memperbolehkan menulisnya
?.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Larangan
Menulis Hadits.
Segala perkataan, prilaku, dan gerak-gerik nabi Muhammad SAW dilakukan
berdasarkan perintah Alloh SWT, dan merupakan patokan bagi sahabat dalam
beraktifitas agar tidak melenceng dari ajaran islam. Segala perkataan nabi
Muhammad itu diingat secara sungguh-sungguh dan hati-hati oleh para sahabat
karena mereka takut terhadapat ancaman Rasulullah agar tidak terjadi kesalahan
dan kekeliruan dalam menghafal hadits yang didapatkannya.
Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat
dalam kegiatan menghafal hadits ini. Pertama,
karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa arab yang telah
diwarisinya sejak praIslam dan mereka terkenal kuat hafalannya; kedua, Rasul SAW banyak memberikan
spirit melalu doa-doanya; ketiga, seringkali
ia menjanjikan kabaikan akhirat kepada orang yang menghafal hadits dan
menyampaikannya kepada orang lain[3]
.
Untuk memelihara kemurnian dan pencapaian kemaslahatan Al-Quran dan
hadits sebagai 2 sumber ajaran Islam, Rasul SAW mengambil kebijaksanaan yang agak
berbeda. Terhadap Al-Quran beliau secara resmi memberi instruksi kepada sahabat
tertentu supaya disamping menghafalkannya, sedang terhadap hadits perintah resmi
itu hanya untuk menghafa dan menyampaikannya kepada orang lain. Penulisan resmi
halnya Al-Quran tidak diperbolehkan Rasul SAW[4]
.
Berkaitan dengan hal ini, maka Rasulullah SAW bersabda :
.[5]
“
Janganlah kalian tulis apa saja dariku selain al-Quran. Barang siapa telah
menulis dariku selain Al-Quran, hendaklah dihapus. Ceritakan saja apa yang
diterima dariku, ini tidak mengapa. Barang siapa berdusta atas namaku dengan
sengaja hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka”. (HR Muslim)
Rasulullah SAW melarang penulisan
hadits pada masa itu karena dikhawatirkan
terjadi keslahan dalam penulisan Al-Quran itu sendiri. Oleh karena itu
Rasulullah melarang penulisan hadits dan hanya memperintahkan untuk menghafalnya
saja.
B. Pembolehan
Menulis Hadits
Dari larangan Rasulullah SAW seperti pada hadits Abu Sa’id Al-Khudri yang
telah dipaparkan sebelumnya, ternyata ada beberapa sahabat yang memiliki
catatan-catatan dan melakukan penulisan terhadap hadits tersebut, para sahabat
itu antara lain :
1. Abdullah Ibn Amr
Al-‘Ash. Beliau memiliki catatan hadits yang menurut pengakuannya dibenarkan
oleh Rasulullah SAW. Menurut suatu riwayat diceritakan bahwa orang-orang
Quraisy mengeritik sikap abdullah Ibn Amr, karena sikapnya yang selalu menulis
segala sesuatu yang datang dari Rasulullah SAW. Mereka berkata : “ Engkau
tuliskan apa saja yang datang dari Rasul, padahal Rasul itu manusia, yang bisa
saja bicara dalam keadaan marah”. Kritikan ini disampaikannya kepada
Rasulullah SAW kemudian beliau menjawabnya dengan berkata : “ Tulislah! Demi
zat yang diriku ada ditangan-Nya, tidak ada yang keluar dari padanya kecuali
yang benar”[6]. (HR Bukhari)
Hadits-hadits
yang terhimpun dalam catatannya ini sekitar seribu hadits, yang menurut pengakuannya
diterima langsung dari Rasul SAW ketika mereka berdua tanpa ada orang lain yang
menemaninya.[7]
2. Jabir ibn
Abdillah ibn Amr Al-Anshari (w. 78 H). Beliau memiliki catatan hadits dari
Rasulullah SAW mengenai manasik haji. Hadits-haditsnya kemudian diriwayatkan
oleh Muslim.
3. Abu Hurairah
Al-Dausi (w. 59 H). Beliau memiliki catatan hadits dan hadits-haditsnya ini
diwariskan kepada anaknya yang bernama Hamman.
4. Abu Syah (Umar
ibn Sa’ad Al-Anmari) adalah seorang penduduk yaman. Beliau meminta kepada
Rasulullah SAW untuk mencatatkan hadits yang disampaikannya ketika beliau
pidato pada peristiwa futuh Mekkah sehubungan dengan terjadinya pembunuhan oleh
sahabat dari Bani Khuza’ah kepada salah seorang lelaki Bani Lais. Rasulullah
SAW lalu bersabda :
“Kalian
tuliskan untuk Abu Syah”.
Selain nama-nama diatas, masih banyak lagi nama-nama sahabat lainnya yang
mengaku memiliki catatan-catatan hadits dan dibenarkan oleh Rasulullah SAW.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadits yang dinashkan
oleh hadits Abu Sa’ad, dimansukhkan dengan izin yang datang sesudahnya. Namun
sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa larangan menulis hadits tertentu
terhadap mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukkan hadits dengan
Al-Quran. Izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan
mencampuradukkah hadits dengan Al-Quran. Tegasnya, mereka berpendapat bahwa
tidak ada pertentangan antara larangan dan keizinan , apabila kita fahamkan,
bahwa yang dilarang adalah pembukuan resmi seprti halnya Al-Quran, dan keizinan
itu diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunnah untuk diri sendiri.[8]
BAB III
KESIMPULAN
1.
Untuk menjaga kemashlahatan dan kemurnian Al-Quran,
Rasulullah SAW melarang para sahabat untuk menulis hadits dan hanya
memperintahkan untuk menghafal dan mengamalkannya. Sedangkan kepada Al-Quran
Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat untuk menulisnya.
2.
Ada beberapa sahabat yang menulis dan membuat
catatan-catatan hadits yang mereka dengarkan dari Rasulullah SAW dan Rasul
sendiri menyetujuinya. Diantara sahabat-sahabat yang memiliki catatan-catatan
itu antara lain : Abdullah ibn AmrAl-Ash, Jabir ibn Abdillah ibn Amr
Al-Anshari, Abu Hurairah Al-Dausi, Abu Syah.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Suparta Munazer, Ilmu Hadits, cet I ; Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2006 .
L. Sulaemang , Ulumul Hadits, cet 1; Kendari : CV.
SHANDRA, 2009.
Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shieddiecy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, cet.
IV ; jakarta PT. Pustaka Rezki Putra, 1999.
http//www.google.com (di akses tgl 19 september 2011)
Resume untuk memenuhi tugas dari dosen mata kuliah “Sosiologi”
RESUME
SOSIOLOGI
“PENDAHULUAN”
Oleh
:
KPI
1
SEMESTER
3
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAH NEGERI (STAIN)
SULTAN
QAIMUDDIN KENDARI
2011
[1]
http// www.google.com (diakses tgl 19
september 2011)
[2]
Munazer Suparta, Ilmu Hadits ( cet 1 ; Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006
), h.70
[3]
Munazer Suparta, Ilmu Hadits ( cet 1 ; Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006
), h.75
[4]
Sulaemang L, Ulumul Hadits ( cet 1; Kendari : CV. SHANDRA, 2009), h. 55
[5]
Lihat dalam Kitab Al-Raqa’iq hadits
nomor 5.326) dalam Imam Muslim, Shahih
Muslim, dengan sanadnya; diterima dari Hadzdab ibn Khalid, dari Hammam,
dari Zaid ibn Aslam, dari Atha’ ibn Yasar dari Abu Sa’id Al-Khudry. Dan lihat
penjelasannya dalam Al-Nawawi, Shahih
Muslim bi Syarh Al-Nawawi, jus XVIII, ( Kairo: Syirkah IqamahAl-Din, 1349 H
), h.129
[6]Fat-hul
Bari I : 165
[7]Ajjaj
al-Khathib, Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997) Cet. Ke6,, hlm 349.
[8]
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shieddiecy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits ( cet.
IV ; jakarta PT. Pustaka Rezki Putra, 1999), h. 38-39.
No comments:
Post a Comment