Thursday, December 15, 2011

makalah Perintah dan Larangan penulian Hadits



BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Hadits adalah pedoman umat islam setelah Al-quran yang wajib di imani oleh setiap orang yang mengaku diri mereka muslim.  Kaum muslimin meyakini bahwa Al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qur’an. Keberadaannya merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa ajaran dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam ajaran itu yakni al-Qur’an. Sedangkan hadits itu sendiri hakikatnya tak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Qur’an itu sendiri.[1]
Berbicara tentang hadits pada masa rasulullah berarti membicarakan awal mula hadits tersebut. Rasulullah SAW  membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus diwurudkannya hadits. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam [2].  Segala ucapan dan prilaku nabi merupakan patokan dan pedoman para sahabat dalam beraktifitas dan menjalani kehidupan mereka.
Namun dalam pengaplikasiannya, Rasulullah SAW melarang penulisan hadits tersebut dan sewaktu-waktu memperbolehkan untuk menulisnya.
B.      MASALAH
Dari penjelasan di atas, timbul beberapa permasalahan yaitu :
1)      Mengapa rasulullah melarang untuk menulis hadits tersebut ?
2)      Mengapa Rasulullah SAW juga memperbolehkan menulisnya ?.
BAB II
PEMBAHASAN
A.       Larangan Menulis Hadits.
Segala perkataan, prilaku, dan gerak-gerik nabi Muhammad SAW dilakukan berdasarkan perintah Alloh SWT, dan merupakan patokan bagi sahabat dalam beraktifitas agar tidak melenceng dari ajaran islam. Segala perkataan nabi Muhammad itu diingat secara sungguh-sungguh dan hati-hati oleh para sahabat karena mereka takut terhadapat ancaman Rasulullah agar tidak terjadi kesalahan dan kekeliruan dalam menghafal hadits yang didapatkannya.
Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal hadits ini. Pertama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa arab yang telah diwarisinya sejak praIslam dan mereka terkenal kuat hafalannya; kedua, Rasul SAW banyak memberikan spirit melalu doa-doanya; ketiga, seringkali ia menjanjikan kabaikan akhirat kepada orang yang menghafal hadits dan menyampaikannya kepada orang lain[3] .  
Untuk memelihara kemurnian dan pencapaian kemaslahatan Al-Quran dan hadits sebagai 2 sumber ajaran Islam, Rasul SAW mengambil kebijaksanaan yang agak berbeda. Terhadap Al-Quran beliau secara resmi memberi instruksi kepada sahabat tertentu supaya disamping menghafalkannya, sedang terhadap hadits perintah resmi itu hanya untuk menghafa dan menyampaikannya kepada orang lain. Penulisan resmi halnya Al-Quran tidak diperbolehkan Rasul SAW[4] .


Berkaitan dengan hal ini, maka Rasulullah SAW bersabda :




.[5]
“ Janganlah kalian tulis apa saja dariku selain al-Quran. Barang siapa telah menulis dariku selain Al-Quran, hendaklah dihapus. Ceritakan saja apa yang diterima dariku, ini tidak mengapa. Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka”. (HR Muslim)
            Rasulullah SAW melarang penulisan hadits pada masa itu karena dikhawatirkan  terjadi keslahan dalam penulisan Al-Quran itu sendiri. Oleh karena itu Rasulullah melarang penulisan hadits dan hanya memperintahkan untuk menghafalnya saja.

             






B.      Pembolehan Menulis Hadits
Dari larangan Rasulullah SAW seperti pada hadits Abu Sa’id Al-Khudri yang telah dipaparkan sebelumnya, ternyata ada beberapa sahabat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan terhadap hadits tersebut, para sahabat itu antara lain :
1.      Abdullah Ibn Amr Al-‘Ash. Beliau memiliki catatan hadits yang menurut pengakuannya dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Menurut suatu riwayat diceritakan bahwa orang-orang Quraisy mengeritik sikap abdullah Ibn Amr, karena sikapnya yang selalu menulis segala sesuatu yang datang dari Rasulullah SAW. Mereka berkata : “ Engkau tuliskan apa saja yang datang dari Rasul, padahal Rasul itu manusia, yang bisa saja bicara dalam keadaan marah”. Kritikan ini disampaikannya kepada Rasulullah SAW kemudian beliau menjawabnya dengan berkata : “ Tulislah! Demi zat yang diriku ada ditangan-Nya, tidak ada yang keluar dari padanya kecuali yang benar”[6](HR Bukhari)
Hadits-hadits yang terhimpun dalam catatannya ini sekitar seribu hadits, yang menurut pengakuannya diterima langsung dari Rasul SAW ketika mereka berdua tanpa ada orang lain yang menemaninya.[7]
2.      Jabir ibn Abdillah ibn Amr Al-Anshari (w. 78 H). Beliau memiliki catatan hadits dari Rasulullah SAW mengenai manasik haji. Hadits-haditsnya kemudian diriwayatkan oleh Muslim.
3.      Abu Hurairah Al-Dausi (w. 59 H). Beliau memiliki catatan hadits dan hadits-haditsnya ini diwariskan kepada anaknya yang bernama Hamman.
4.      Abu Syah (Umar ibn Sa’ad Al-Anmari) adalah seorang penduduk yaman. Beliau meminta kepada Rasulullah SAW untuk mencatatkan hadits yang disampaikannya ketika beliau pidato pada peristiwa futuh Mekkah sehubungan dengan terjadinya pembunuhan oleh sahabat dari Bani Khuza’ah kepada salah seorang lelaki Bani Lais. Rasulullah SAW lalu bersabda :
Kalian tuliskan untuk Abu Syah”.
Selain nama-nama diatas, masih banyak lagi nama-nama sahabat lainnya yang mengaku memiliki catatan-catatan hadits dan dibenarkan oleh Rasulullah SAW.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadits yang dinashkan oleh hadits Abu Sa’ad, dimansukhkan dengan izin yang datang sesudahnya. Namun sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa larangan menulis hadits tertentu terhadap mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukkan hadits dengan Al-Quran. Izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukkah hadits dengan Al-Quran. Tegasnya, mereka berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara larangan dan keizinan , apabila kita fahamkan, bahwa yang dilarang adalah pembukuan resmi seprti halnya Al-Quran, dan keizinan itu diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunnah untuk diri sendiri.[8] 







BAB III
KESIMPULAN
1.      Untuk menjaga kemashlahatan dan kemurnian Al-Quran, Rasulullah SAW melarang para sahabat untuk menulis hadits dan hanya memperintahkan untuk menghafal dan mengamalkannya. Sedangkan kepada Al-Quran Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat untuk menulisnya.
2.      Ada beberapa sahabat yang menulis dan membuat catatan-catatan hadits yang mereka dengarkan dari Rasulullah SAW dan Rasul sendiri menyetujuinya. Diantara sahabat-sahabat yang memiliki catatan-catatan itu antara lain : Abdullah ibn AmrAl-Ash, Jabir ibn Abdillah ibn Amr Al-Anshari, Abu Hurairah Al-Dausi, Abu Syah.










BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Suparta Munazer, Ilmu Hadits, cet I ; Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006 .
L. Sulaemang , Ulumul Hadits, cet 1; Kendari : CV. SHANDRA, 2009.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shieddiecy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, cet. IV ; jakarta PT. Pustaka Rezki Putra, 1999.
http//www.google.com (di akses tgl 19 september 2011)












Resume untuk memenuhi tugas dari dosen mata kuliah “Sosiologi”
RESUME
SOSIOLOGI
“PENDAHULUAN”









Oleh :
KPI 1
SEMESTER 3


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAH NEGERI (STAIN)
SULTAN QAIMUDDIN KENDARI
2011


[1] http// www.google.com (diakses tgl 19 september 2011)
[2] Munazer Suparta, Ilmu Hadits ( cet 1 ; Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006 ), h.70
[3] Munazer Suparta, Ilmu Hadits ( cet 1 ; Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006 ), h.75

[4] Sulaemang L, Ulumul Hadits ( cet 1; Kendari : CV. SHANDRA, 2009), h. 55
[5] Lihat dalam Kitab Al-Raqa’iq hadits nomor 5.326) dalam Imam Muslim, Shahih Muslim, dengan sanadnya; diterima dari Hadzdab ibn Khalid, dari Hammam, dari Zaid ibn Aslam, dari Atha’ ibn Yasar dari Abu Sa’id Al-Khudry. Dan lihat penjelasannya dalam Al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh Al-Nawawi, jus XVIII, ( Kairo: Syirkah IqamahAl-Din, 1349 H ), h.129
[6]Fat-hul Bari I : 165
[7]Ajjaj al-Khathib, Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997)  Cet. Ke6,, hlm 349.
[8] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shieddiecy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits ( cet. IV ; jakarta PT. Pustaka Rezki Putra, 1999), h. 38-39.

No comments:

Post a Comment