CHAPTER REPORT
“SEJARAH RETORIKA”
Chapter 1.
Menurut
sejarah perkembanganya, retorika mula-mula tumbuh dan berkembang di Yunani pada
abad ke V dank e VI sebelum masehi. Menurut pengertianya yang asli, retorika
adalah sebuah telaah atau studi yang simpatik mengenai oratoria atau seni
berpidato. Kemampuan dan kemahiran bahasa pada waktu itu diabdikan untuk
menyampaikan pikiran dan gagasan melalui pidato-pidato kepada kelompok-kelompok
massa tertentu guna mencapai tujuan tertentu.
Orang yang
pertama dianggap memperkenalkan oratori atau seni berpidato adalah orang Yunani
Sicilia. Tetapi tokoh pendiri sebenarnya adalah Corax dari Sirakusa (500 SM).
Inilah yang mula-mula meletakkan sistematika oratori atas lima bagian, yaiutu:
(1) Proem atau pengantar dari pidato
yang akan disampaikan
(2) Diegesis atau narration: bagian yang
mengandung uraian tentang pokok persoalan yang akan dikemukakan .
(3) Agon atau argument: bagian pidato
yang mengemukakan bukti-bukti mengenai pokok persoalan yang dikemukakan itu.
(4) Parekbasis atau digression: catatan
pelengkap yang mengemukakan keterangan-keterangan lainnya yang dianggap perlu
untuk menjelaskan persoalan tadi
(5) Peroration: bagian penutup pidato yang
mengemukakan kesimpulan dan saran-saran.
Chapter 2.
·
RETORIKA ZAMAN
ROMAWI
Teori retorika Aristoteles sangat sistematis dan komprehensif. Pada
satu sisi, retorika telah memperoleh dasar teoretis yang kokoh. Namun, pada
sisi lain, uraiannya yang lengkap dan persuasif telah membungkam para ahli
retorika yang datang sesudahnya. Orang-orang Romawi selama dua ratus tahun
setelah tidak menambahkan apa-apa yang berarti bagi perkembangan retorika.
Buku Ad Herrenium, yang ditulis dalam bahasa Latin kira-kira
100 SM, hanya mensistematisasikan dengan cara Romawi warisan retorika gaya
Yunani. Orang-orang Romawi bahkan hanya mengambil segi-segi praktisnya saja.
Walaupun begitu, kekaisaran Romawi bukan saja subur dengan sekolah-sekolah
retorika; tetapi juga kaya dengan orator-orator ulung: Antonius, Crassus,
Rufus, Hortensius. Yang disebut terakhir terkenal begitu piawai dalam berpidato
sehingga para artis berusaha mempelajari gerakan dan cara penyampaiannya.
Kemampuan Hortensius disempurnakan oleh Cicero. Karena dibesarkan
dalam keluarga kaya dan menikah dengan istri yang memberinya kehormatan dan
uang, Cicero muncul sebagai negarawan dan cendekiawan. Pernah hanya dalam dua
tahun (45-44 SM), ia menulis banyak buku filsafat dan lima buah buku retorika.
Dalam teori, ia tidak banyak menampilkan penemuan baru. Ia banyak mengambil
gagasan dari Isocrates. Ia percaya bahwa efek pidato akan baik, bila yang berpidato
adalah orang baik juga. The good man speaks well. Dalam praktek,
Cicero betul-betul orator yang sangat berpengaruh.
Caesar, penguasa Romawi yang ditakuti, memuji Cicero, “Anda
telah menemukan semua khazanah retorika, dan Andalah orang pertama yang
menggunakan semuanya. Anda telah memperoleh kemenangan yang lebih disukai dari
kemenangan para jenderal. Karena sesungguhnya lebih agung memperluas
batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas batas-batas kerajaan
Romawi”. Kira-kira 57 buah pidatonya sampai kepada kita sekarang ini. Will
Durant menyimpulkan kepada kita gaya pidatonya:
“Pidatonya
mempunyai kelebihan dalam menyajikan secara bergelora satu sisi masalah atau
karakter; dalam menghibur khalayak dengan humor dan anekdot; dalam menyentuh
kebanggaan, prasangka, perasaan, patriotisme dan kesalehan; dalam mengungkapkan
secara keras kelemahan lawan – yang sebenarnya atau yang diberitakan, yang
tersembunyi atau yang terbuka; dalam mengalihkan perhatian secara
terampil dari pokok-pokok pembicaraan yang kurang menguntungkan; dalam
memberondong pertanyaan retoris yang sulit dijawab; dalam menghimpun
serangan-serangan, dengan kalimat-kalimat periodik yang anak-anaknya seperti
cambukan dan yang badainya membahana….”
Dari tulisan-tulisannya yang sampai sekarang bisa dibaca, kita
mengetahui bahwa Cicero sangat terampil dalam menyederhanakan pembicaraan yang
sulit. Bahasa Latinnya mudah dibaca. Melalui penanya, bahasa mengalir dengan
deras tetapi indah. Puluhan tahun sepeninggal Cicero, Quintillianus mendirikan
sekolah retorika. Ia sangat mengagumi Cicero dan berusaha merumuskan
teori-teori retorika dari pidato dan tulisannya. Apa yang dapat kita
pelajari dari Quintillianus? Banyak. Secara singkat, Will Durant menceritakan
kuliah retorika Quantillianus, yang dituliskannya dalam buku Institutio
Oratoria:
Ia mendefinisikan retorika sebagai ilmu berbicara yang baik. Pendidikan
orator harus dimulai sebelum dia lahir: Ia sebaiknya berasal dari keluarga
terdidik, sehingga ia bisa menerima ajaran yang benar dan akhlak yang baik
sejak napas yang ia hirup pertama kalinya. Tidak mungkin menjadi terpelajar dan
terhormat hanya dalam satu generasi. Calon orator harus mempelajari musik
supaya ia mempunyai telinga yang dapat mendengarkan harmoni; tarian, supaya ia
memiliki keanggunan dan ritma; drama, untuk menghidupkan kefasihannya dengan
gerakan dan tindakan; gimnastik, untuk memberinya kesehatan dan kekuatan;
sastra, untuk membenhik gaya dan melatih memorinya, dan memperlengkapinya
dengan pemikiran-pemikiran besar; sains, untuk memperkenalkan dia dengan
pemahaman mengenai alam; dan filsafat, untuk membentuk karakternya berdasarkan
petunjuk akal dan bimbingan orang bijak. Karena semua persiapan tidak ada
manfaatnya jika integritas akhlak dan kemuliaan rohani tidak melahirkan
ketulusan bicara yang tak dapat ditolak. Kemudian, pelajar retorika harus
menulis sebanyak dan secermat mungkin.
Chapter 3.
·
RETORIKA ABAD
PERTENGAHAN
Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu berkaitan
dengan kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Ada
dua cara untuk memperoleh kemenangan politik: talk it out (‘membicarakan
sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai habis). Retorika
subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika demokrasi Romawi mengalami
kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang pemerintahan, “membicarakan”
diganti dengan “menembak”. Retorika tersingkir ke belakang panggung. Para
kaisar tidak senang mendengar orang yang pandai berbicara.
Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika.
Ketika agama Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah.
Banyak orang Kristen waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan
oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk
agama Kristen, secara otomatis ia akan memiliki kemampuan untuk nmnyampaikan
kebenaran. St. Agustinus, yang telah mempelajari retorika sebelum masuk Kristen
tahun 386, adalah kekecualian pada zaman itu.
Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para
pengkhotbah harus sanggup mengajar, menggembirakan, dan menggerakkan – yang
oleh Cicero disebut sebagai kewajiban orator. Untuk mencapai tujuan Kristen,
yakni mengungkapkan kebenaran, kita harus mempelajari teknik penyampaian pesan.
Satu abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi
menyampaikan firman Tuhan, “Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada
mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka” (Alquran 4:63). Muhammad
saw. bersabda, memperteguh firman Tuhan ini, “Sesungguhnya dalam kemampuan
berbicara yang baik itu ada sihirnya”.
Ia sendiri seorang pembicara yang fasih – dengan kata-kata singkat yang
mengandung makna padat. Para sahabatnya bercerita bahwa ucapannya sering
menyebabkan pendengar berguncang hatinya dan berlinang air matanya. Tetapi ia
tidak hanya menyentuh hati, ia juga mengimbau akal para pendengarnya. Ia sangat
memperhatikan orang-orang yang dihadapinya, dan menyesuaikan pesannya dengan
keadaan mereka. Ada ulama yang mengumpulkan khusus pidatonya dan menamainya Madinat
al-Balaghah (Kota Balaghah). Salah seorang sahabat yang paling
dikasihinya, Ali bin Abi Thalib, mewarisi ilmunya dalam berbicara. Seperti
dilukiskan Thomas Carlyle, “every antagonist in the combats of tongue or of
sword was subdited by his eloquence and valor”. Pada Ali bin Abi Thalib,
kefasihan dan kenegarawanan bergabung kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan
dengan cermat oleh para pengikutnya dan diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan
Balaghah).
Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam
peradaban Islam. Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika.
Tetapi, warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di Eropa Abad Pertengahan,
dikaji dengan tekun oleh para ahli balaghah. Sayang, sangat kurang sekali
studi berkenaan dengan kontribusi Balaghah pada retorika modern. Balaghah,
beserta ma’ani dan bayan, masih tersembunyi di
pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional.
Chapter 4.
·
RETORIKA MODERN
Abad Pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di Eropa,
selama periode panjang itu, warisan peradaban Yunani diabaikan. Pertemuan
orang Eropa dengan Islam – yang menyimpan dan mengembangkan khazanah Yunani –
dalam Perang Salib menimbulkan Renaissance. Salah seorang pemikir Renaissance
yang menarik kembali minat orang pada retorika adalah Peter Ramus. Ia membagi
retorika pada dua bagian. Inventio dan dispositio dimasukkannya
sebagai bagian logika. Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan elocutio
dan pronuntiatio saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama
beberapa generasi.
Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang membangun
jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah Roger Bacon
(1214-1219). Ia bukan saja memperkenalkan metode eksperimental, tetapi juga
pentingnya pengetahuan tentang proses psikologis dalam studi retorika. Ia
menyatakan, “… kewajiban retorika ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk
menggerakkan kemauan secara lebih baik”. Rasio, imajinasi, kemauan adalah
fakultas-fakultas psikologis yang kelak menjadi kajian utama ahli retorika
modern.
Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses
psikologis, dikenal sebagai aliran epistemologis. Epistemologi membahas
“teori pengetahuan”; asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas pengetahuan
manusia. Para pemikir epistemologis berusaha mengkaji retorika klasik dalam
sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni, yang membahas proses mental).
Chapter
5.
·
PENUTUP
Dewasa ini retorika sebagai public speaking, oral communication, atau
speech communication -diajarkan dan diteliti secara ilmiah di
lingkungan akademis. Pada waktu mendatang, ilmu ini tampaknya akan diberikan
juga pada mahasiswa-mahasiswa di luar ilmu sosial. Dr. Charles Hurst mengadakan
penelitian tentang pengaruh speech courses terhadap prestasi akademis
mahasiswa. Hasilnya membuktikan bahwa pengaruh itu cukup berarti. Mahasiswa
yang memperoleh pelajaran speech (speech group) mendapat skor yang
lebih tinggi dalam tes belajar dan berpikir, lebih terampil dalam studi
dan lebih baik dalam hasil akademisnya dibanding dengan mahasiswa yang tidak
memperoleh ajaran itu. Hurst menyimpulkan: Data penelitian ini menunjukkan
dengan jelas bahwa kuliah speech tingkat dasar adalah agen synthesa,
yang memberikan dasar skematis bagi mahasiswa untuk berpikir lebih teratur
dan memperoleh penguasaan yang lebih baik terhadap aneka fenomena yang
membentuk kepribadian. Penelitian ini menjadi penting bagi kita, bukan karena
dilengkapi dengan data statistik yang meyakinkan atau karena berhasil
memberikan gelar doktor bagi Hurst, tetapi karena erat kaitannya dengan prospek
retorika di masa depan.