Wednesday, February 15, 2017

SEJARAH RETORIKA



CHAPTER REPORT
“SEJARAH RETORIKA”
Chapter  1.
Menurut sejarah perkembanganya, retorika mula-mula tumbuh dan berkembang di Yunani pada abad ke V dank e VI sebelum masehi. Menurut pengertianya yang asli, retorika adalah sebuah telaah atau studi yang simpatik mengenai oratoria atau seni berpidato. Kemampuan dan kemahiran bahasa pada waktu itu diabdikan untuk menyampaikan pikiran dan gagasan melalui pidato-pidato kepada kelompok-kelompok massa tertentu guna mencapai tujuan tertentu.
Orang yang pertama dianggap memperkenalkan oratori atau seni berpidato adalah orang Yunani Sicilia. Tetapi tokoh pendiri sebenarnya adalah Corax dari Sirakusa (500 SM). Inilah yang mula-mula meletakkan sistematika oratori atas lima bagian, yaiutu:
(1) Proem atau pengantar dari pidato yang akan disampaikan
(2) Diegesis atau narration: bagian yang mengandung uraian tentang pokok persoalan yang akan dikemukakan .
(3) Agon atau argument: bagian pidato yang mengemukakan bukti-bukti mengenai pokok persoalan yang dikemukakan itu.
(4) Parekbasis atau digression: catatan pelengkap yang mengemukakan keterangan-keterangan lainnya yang dianggap perlu untuk menjelaskan persoalan tadi
(5) Peroration: bagian penutup pidato yang mengemukakan kesimpulan dan saran-saran.
Chapter 2.
·         RETORIKA ZAMAN ROMAWI
Teori retorika Aristoteles sangat sistematis dan komprehensif. Pada satu sisi, retorika telah memperoleh dasar teoretis yang kokoh. Namun, pada sisi lain, uraiannya yang lengkap dan persuasif telah membungkam para ahli retorika yang datang sesudahnya. Orang-orang Romawi selama dua ratus tahun setelah tidak menambahkan apa-apa yang berarti bagi perkembangan retorika.
Buku Ad Herrenium, yang ditulis dalam bahasa Latin kira-kira 100 SM, hanya mensistematisasikan dengan cara Romawi warisan retorika gaya Yunani. Orang-orang Romawi bahkan hanya mengambil segi-se­gi praktisnya saja. Walaupun begitu, kekaisaran Romawi bukan saja subur dengan sekolah-sekolah retorika; tetapi juga kaya dengan orator­-orator ulung: Antonius, Crassus, Rufus, Hortensius. Yang disebut terakhir terkenal begitu piawai dalam berpidato sehingga para artis berusaha mempelajari gerakan dan cara penyampaiannya.
Kemampuan Hortensius disempurnakan oleh Cicero. Karena di­besarkan dalam keluarga kaya dan menikah dengan istri yang mem­berinya kehormatan dan uang, Cicero muncul sebagai negarawan dan cendekiawan. Pernah hanya dalam dua tahun (45-44 SM), ia menulis banyak buku filsafat dan lima buah buku retorika. Dalam teori, ia tidak banyak menampilkan penemuan baru. Ia banyak mengambil gagasan dari Isocrates. Ia percaya bahwa efek pidato akan baik, bila yang ber­pidato adalah orang baik juga. The good man speaks well. Dalam praktek, Cicero betul-betul orator yang sangat berpengaruh.
Caesar, penguasa Romawi yang ditakuti, memuji Cicero, “Anda telah menemukan semua khazanah retorika, dan Andalah orang per­tama yang menggunakan semuanya. Anda telah memperoleh keme­nangan yang lebih disukai dari kemenangan para jenderal. Karena se­sungguhnya lebih agung memperluas batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas batas-batas kerajaan Romawi”. Kira-kira 57 buah pidatonya sampai kepada kita sekarang ini. Will Durant menyimpulkan kepada kita gaya pidatonya:
“Pidatonya mempunyai kelebihan dalam menyajikan secara bergelora satu sisi masalah atau karakter; dalam menghibur khalayak dengan humor dan anekdot; dalam menyentuh kebanggaan, prasangka, perasaan, patriotisme dan kesalehan; dalam mengungkapkan secara keras kelemahan lawan – yang sebenarnya atau yang diberitakan, yang tersembunyi atau yang terbuka; dalam mengalihkan perhatian secara terampil dari pokok-pokok pembicaraan yang kurang menguntungkan; dalam memberondong pertanyaan retoris yang sulit dijawab; dalam menghimpun serangan-serangan, dengan kalimat-kalimat periodik yang anak-anaknya seperti cambukan dan yang badainya membahana….”
Dari tulisan-tulisannya yang sampai sekarang bisa dibaca, kita mengetahui bahwa Cicero sangat terampil dalam menyederhanakan pembicaraan yang sulit. Bahasa Latinnya mudah dibaca. Melalui pena­nya, bahasa mengalir dengan deras tetapi indah. Puluhan tahun sepeninggal Cicero, Quintillianus mendirikan se­kolah retorika. Ia sangat mengagumi Cicero dan berusaha merumuskan teori-teori retorika dari pidato dan tulisannya.  Apa yang dapat kita pelajari dari Quintillianus? Banyak. Secara singkat, Will Durant menceritakan kuliah retorika Quantillianus, yang dituliskannya dalam buku Institutio Oratoria:
Ia mendefinisikan retorika sebagai ilmu berbicara yang baik. Pendidikan orator harus dimulai sebelum dia lahir: Ia sebaiknya berasal dari keluarga terdidik, sehingga ia bisa menerima ajaran yang benar dan akhlak yang baik sejak napas yang ia hirup pertama kalinya. Tidak mungkin menjadi terpelajar dan terhormat hanya dalam satu generasi. Calon orator harus mempelajari musik supaya ia mempunyai telinga yang dapat mendengarkan harmoni; tarian, supaya ia memiliki keanggunan dan ritma; drama, untuk menghidupkan kefasihannya dengan gerakan dan tindakan; gimnastik, untuk memberinya kesehatan dan kekuatan; sastra, untuk membenhik gaya dan melatih memorinya, dan memperlengkapinya dengan pemikiran­-pemikiran besar; sains, untuk memperkenalkan dia dengan pemahaman mengenai alam; dan filsafat, untuk membentuk karakternya berdasarkan petunjuk akal dan bimbingan orang bijak. Karena semua persiapan tidak ada manfaatnya jika integritas akhlak dan kemuliaan rohani tidak melahirkan ketulusan bicara yang tak dapat ditolak. Kemudian, pelajar retorika harus menulis sebanyak dan secermat mungkin.



Chapter 3.
·         RETORIKA ABAD PERTENGAHAN
Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu berkaitan dengan kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan politik: talk it out (‘membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai ha­bis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang pemerintahan, “membicarakan” diganti dengan “menembak”. Retorika tersingkir ke belakang panggung. Para kaisar tidak senang mendengar orang yang pandai berbicara.
Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang Kristen waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan memiliki kemampuan untuk nmnyampaikan kebenaran. St. Agustinus, yang telah mempelajari retorika sebelum masuk Kristen tahun 386, adalah kekecualian pada zaman itu.
Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para pengkhotbah harus sanggup mengajar, menggembirakan, dan meng­gerakkan – yang oleh Cicero disebut sebagai kewajiban orator. Untuk mencapai tujuan Kristen, yakni mengungkapkan kebenaran, kita harus mempelajari teknik penyampaian pesan.
Satu abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan firman Tuhan, “Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka” (Alquran 4:63). Muhammad saw. bersabda, memperteguh firman Tuhan ini, “Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya”.
Ia sendiri seorang pembicara yang fasih – dengan kata-kata singkat yang mengandung makna padat. Para sahabatnya bercerita bahwa ucapannya sering menyebabkan pendengar berguncang hatinya dan berlinang air matanya. Tetapi ia tidak hanya menyentuh hati, ia juga mengimbau akal para pendengarnya. Ia sangat memperhatikan orang­-orang yang dihadapinya, dan menyesuaikan pesannya dengan keadaan mereka. Ada ulama yang mengumpulkan khusus pidatonya dan me­namainya Madinat al-Balaghah (Kota Balaghah). Salah seorang sahabat yang paling dikasihinya, Ali bin Abi Thalib, mewarisi ilmunya dalam berbicara. Seperti dilukiskan Thomas Carlyle, “every antagonist in the combats of tongue or of sword was subdited by his eloquence and valor”. Pada Ali bin Abi Thalib, kefasihan dan kenegarawanan bergabung kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para peng­ikutnya dan diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan Balaghah).
Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam peradaban Islam. Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi, warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di Eropa Abad Pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli ba­laghah. Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi Balaghah pada retorika modern. Balaghah, beserta ma’ani dan bayan, masih tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pen­didikan Islam tradisional.

Chapter 4.
·         RETORIKA MODERN
Abad Pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di Eropa, selama periode panjang itu, warisan peradaban Yunani diabai­kan. Pertemuan orang Eropa dengan Islam – yang menyimpan dan mengembangkan khazanah Yunani – dalam Perang Salib menimbulkan Renaissance. Salah seorang pemikir Renaissance yang menarik kembali minat orang pada retorika adalah Peter Ramus. Ia membagi retorika pada dua bagian. Inventio dan dispositio dimasukkannya sebagai bagian logika. Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan elocutio dan pronuntiatio saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa generasi.
Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang membangun jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah Roger Bacon (1214-1219). Ia bukan saja memperkenalkan metode eksperimental, tetapi juga pentingnya pengetahuan tentang proses psikologis dalam studi retorika. Ia menyatakan, “… kewajiban retorika ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakkan kemauan secara lebih baik”. Rasio, imajinasi, kemauan adalah fakultas-­fakultas psikologis yang kelak menjadi kajian utama ahli retorika modern.
Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses psikologis, dikenal sebagai aliran epistemologis. Epistemologi membahas “teori pengetahuan”; asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologis berusaha mengkaji retorika klasik dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni, yang membahas proses mental).
Chapter 5.
·        PENUTUP
Dewasa ini retorika sebagai public speaking, oral communication, atau speech communication -diajarkan dan diteliti secara ilmiah di lingkungan akademis. Pada waktu mendatang, ilmu ini tampaknya akan diberikan juga pada mahasiswa-mahasiswa di luar ilmu sosial. Dr. Charles Hurst mengadakan penelitian tentang pengaruh speech courses terhadap pres­tasi akademis mahasiswa. Hasilnya membuktikan bahwa pengaruh itu cukup berarti. Mahasiswa yang memperoleh pelajaran speech (speech group) mendapat skor yang lebih tinggi dalam tes belajar dan berpikir, lebih terampil dalam studi dan lebih baik dalam hasil akademisnya dibanding dengan mahasiswa yang tidak memperoleh ajaran itu. Hurst menyimpulkan: Data penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa kuliah speech tingkat dasar adalah agen synthesa, yang memberikan dasar skematis bagi mahasiswa untuk berpikir lebih teratur dan memperoleh penguasaan yang lebih baik terhadap aneka fenomena yang membentuk kepribadian. Penelitian ini menjadi penting bagi kita, bukan karena dilengkapi dengan data statistik yang meyakinkan atau karena berhasil memberikan gelar doktor bagi Hurst, tetapi karena erat kaitannya dengan prospek retorika di masa depan.

teori perkembangan




TEORI PERKEMBANGAN
Oleh : Muhammad Alhallaj Saleh
Teori-teori kepribadian yang dikenal dewasa ini oleh masyarakat diantaranya adalah teori psikoanalisis, behavioristiik, humanistik dan biologik.
1.      Teori psikoanalisis
a.       teori kepribadian psikoanalisis dari Sigmund Freud.
Freud adalah teoritis pertama yang memusatkan perhatiannya kepada kepribadian, dan menekankan pentingnya peran masa bayi dan awal-awal dalam pembetukan karakter seseorang. Freud yakin dasar kepribadian sudah terbentuk pada usia 5 tahun, dan perkembangan kepribadian sesudah usia 5 tahun sebagian besar hanya merupakan elaborasi dari struktur dasar tadi. Tehnik psikoanalisis mengeksplorasi jiwa pasien antara lain dengan mengembalikan mereka ke pengalaman masa kanak-kanak.
Freud membagi perkembangan kepribadian menjadi tiga tahapan, yakni tahap infantile (0-5 tahun), tahap laten (5-12 tahun), dan tahap genital (>12 tahun). Tahap infantile yang paling menentukan dalam pembentukan kepribadian, terbagi dalam tiga fase, yakni fase oral, fase anal, fase falis. Perkembangan kepribadian ditentukan terutama oleh perkembangan seks, yang terkait dengan perkembangan biologis, sehingga tahap ini disebut juga tahap seksual infantile. Perkembangan insting seks berarti perubahan katektis seks, dan perkembangan biologis menyiapkan bagian tubuh untuk dipilih menjadi pusat kepuasan seksual. Pemberian nama fase-fase perkembangan infantile sesuai dengan bagian tubuh-daerah arogan-yang menjadi kateksis seksual pada fase itu.
Ada dua asumsi yang mendasari teori psikoanalisis Freud, yaitu (1) asumsi determinisme psikis dan (2) asumsi motivasi tak sadar. Asumsi determinisme psikis (psychic deteminism) meyakini bahwa segala sesuatu yang dilakukan, dipikirkan, atau dirasakan individu mempunyai arti dan maksud, dan itu semuanya secara alami sudah ditentukan. Adapun asumsi motivasi tak sadar (unconscious motivation) meyakini bahwa sebagian besar tingkah laku individu (seperti perbuatan, berpikir, dan merasa) ditentukan oleh motiv tak sadar.  
Freud membagi struktur kepribadian ke dalam tiga komponen, yaitu id, ego, dan superego. Perilaku seseorang merupakan hasil interaksi antara ketiga komponen tersebut.
Menurut Freud, kehidupan jiwa memiliki tiga tingkat kesadaran, yakni sadar (Conscious), pra sadar (Preconscious), dan tidak sadar (Unconscious). Alam sadar adalah apa yang anda sadari pada saat tertentu, penginderaan langsung, ingatan, persepsi, pemikiran, fantasy, perasaan yang anda miliki. Terkait erat dengan alam sadar ini adalah apa yang dinamakan Freud dengan alam pra sadar, yaitu apa yang kita sebut dengan saat ini dengan 'kenangan yang sudah tersedia(available memory), yaitu segala sesuatu yang dengan mudah dapat di panggil ke alam sadar, kenangan-kenangan yang walakupun tidak anda ingat waktu berpikir, tapi dapat mudah dengan mudah dipanggil lagi. Adapun bagian terbesar adalah alam bawah sadar (Unconscious mind). Bagian ini mencakup segala sesuatu yang sangat sulit dibawa ke alam bawah sadar, seperti nafsu dan insting kita serta segala sesuatu yang masuk ke situ karena kita tidak mampu menjangkaunya, seperti kenangan atau emosi-emosi yang terkait dengan trauma.
b.      Teori Kepribadian Psikoanalitis Carl Gustave Jung
Pandangan Jung tentang kepribadian adalah prospektif dan retrospektif. Prospektif dalam arti bahwa ia melihat kepribadian itu kedepan kearah garis perkembangan sang pribadi di masa depan dan retrospektif dalam arti ia memperhatikan masa lampau sang pribadi. Orang hidup dibimbing oleh tujuan maupun sebab. Jung menekankan pada peranan tujuan dalam perkembangan manusia. Pandangan inilah yang membedakan Jung dengan Freud. Bagi Freud dalam hidup ini hanya ada pengulangan yang tak ada habis-habisnya atas tema-tema instink sampai ajal menjelang. Bagi Jung dalam hidup ini ada perkembangan yang konstan dan sering kali kreatif, pencarian kearah yang lebih sempurna serta kerinduan untuk lahir kembali. Teori Jung juga berbeda dari semua pendekatan lain tentang kepribadian karena penekanannya yang kuat pada dasar ras dan filogenetik kepribadian. Jung melihat kepribadian individu sebagai produk dan wajah sejarah leluhur. Jung menyelidiki sejarah manusia untuk mengungkap tentang asal ras dan evolusi kepribadian. Ia meneliti mitologi, agama, lambang, upacara kuno, adat istiadat, kepercayaan manusia primitif, mimpi, penglihatan, simtom orang neurotik, halusinasi dan delusi para penderita psikosis dalam mencari akar dan perkembangan kepribadian manusia.
2.      Teori behaviorisme
Dalam teori behaviorisme, ingin menganalisa hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perbahan perilaku organise sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau memperoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalian oleh faktor-faktor lingkungan. Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberirespon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus). Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar.
Aristoteles berpendapat bahwa pada watu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa, seperti sebuah meja lilin yang siap dilukis oleh pengalaman. Menurut John Locke(1632-1704), salah satu tokoh empiris, pada waktu lahir manusia tidak mempunyai ”warna mental”. Warna ini didapat dari pengalaman. Pengalaman adalah satu-satunya jalan ke pemilikan pengetahuan. Idea dan pengetahuan adalah produk dari pengalaman. Secara psikologis, seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan tempramen ditentukan oleh pengalaman inderawi (sensory experience). Pikiran dan perasaan disebabkan oleh perilaku masa lalu.
Kesulitan empirisme dalam menjelaskan gejala psikologi timbul ketika orang membicarakan apa yang mendorong manusia berperilaku tertentu. Hedonisme, memandang manusia sebagai makhluk yang bergerak untuk memenuhi kepentingan dirinya, mencari kesenangan, dan menghindari penderitaan. Dalam utilitarianismem perilaku anusia tunduk pada prinsip ganjaran dan hukuman. Bila empirisme digabung dengan hedonisme dan utilitariansisme, maka itulah yang disebut dengan behaviorisme.
Asumsi bahwa pengalaman adalah paling berpengaruh dala pembentukan perilaku, menyiratkan betapa plastisnya manusia. Ia mudah dibentuk menjadi apa pun dengan menciptakan lingkungan yang relevan.
Thorndike dan Watson, kaum behaviorisme berpendirian: organisme dilahirkan tanpa sifat-sifat sosial atau psikologis; perilaku adalah hasil pengalaman dan prilaku digerakan atau dimotivasi oleh kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi penderitaan.
3.      Teori psikologi kognitif
Teori ini dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog. Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata—skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya— dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental. Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang berarti, tidak seperti teori nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan.
Untuk pengembangan teori ini, Piaget memperoleh Erasmus Prize. Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia:
  • Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
  • Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
  • Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
  • Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)

Dalam teori psikologi kognitif, ada beberapa tahap yang berlangsung didalamnya, antara lain :
1)       Periode sensorimotor
2)       Tahapan praoperasional
Keempat tahapan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  • Walau tahapan-tahapan itu bisa dicapai dalam usia bervariasi tetapi urutannya selalu sama. Tidak ada ada tahapan yang diloncati dan tidak ada urutan yang mundur.
  • Universal (tidak terkait budaya)
  • Bisa digeneralisasi: representasi dan logika dari operasi yang ada dalam diri seseorang berlaku juga pada semua konsep dan isi pengetahuan
  • Tahapan-tahapan tersebut berupa keseluruhan yang terorganisasi secara logis
  • Urutan tahapan bersifat hirarkis (setiap tahapan mencakup elemen-elemen dari tahapan sebelumnya, tapi lebih terdiferensiasi dan terintegrasi)
  • Tahapan merepresentasikan perbedaan secara kualitatif dalam model berpikir, bukan hanya perbedaan kuantitatif
4.      Teori psikoseksual.
Freud menyatakan bahwa terdapat 4 insting dasar (four basic instinct) pada manusia yaitu insting vital (lapar, haus, makan, minum), insting seksual, insting agresi dan insting kematian (thanatos). Dalam perkembangan anak, Freud menekankan insting seksual di atas insting yang lainnya. Insting seksual sudah ada sejak bayi dilahirkan dan berkembang menurut fase-fase tertentu. Adapun fase-fase yang dimaksud adalah fase oral, anal, falik, laten dan genital.
1)      Fase Oral
Daerah mulut dan sekitarnya merupakan zona erogen bagi bayi untuk kepuasan seksualnya. Fiksasi pada fase ini akan menyebabkan kerakusan dan agresi verbal saat dewasa.
2)      Fase Anal
Libido dipusatkan di daerah anal, dimana anal berfungsi sebagai alat pemuas kenikmatan (baik dalam melepaskan ataupun mempertahankan feses). Di fase ini terjadi sifat ambivalensi pada anak dimana anak berusaha mempertahankan feses sedangkan ibunya memerintahkan untuk dibuang. Fiksasi pada fase ini menyebabkan sikap ambivalensi, biseksualitas, terlalu pembersih, terlalu hemat (perilaku obsesif-kompulsif).
3)      Fase Falik
Obyek cinta pada fase ini adalah genital (pada anak laki-laki adalah penis). Anak laki-laki sering merasa ketakutan kehilangan penis (castration anxiety) sedangkan anak perempuan ingin mempunyai penis sehingga cemburu kepada anak laki-laki (penis envy). Kedua hal tersebut termasuk ke dalam castration complex.
Dalam fase ini juga terdapat fenomena penting yang disebut dengan Oedipus complex. Freud menggambarkan ini sebagai hubungan segitiga antara anak-ibu-ayah. Pada awalnya cinta anak laki-laki adalah kepada ibunya dan ayahnya dianggap sebagai saingannya dalam memperebutkan ibunya tetapi akhirnya anak kalah bersaing dengan ayahnya bahkan justru ingin meniru ayahnya dengan identifikasi. Bila dalam membesarkan anak dilakukan ibu sendiri dan anak menjadi dekat dengan ibunya sehingga kelak anak akan mencari pacar atau isteri yang mirip dengan ibunya/sama dengan figur ibunya.
4)      Fase laten
Di fase ini libido seksual relatif tenang dan anak beridentifikasi secara lebih luas lagi di luar objek orangtuanya seperti teman, orangtua teman dan guru.
5)      Fase Genital
Fase ini dibagi menjadi fase pubertas (11-13 tahun), fase adolesens/remaja (14-18 tahun) dan fase dewasa (18 tahun ke atas).