Wednesday, February 15, 2017

makalah Hubungan Antarpribadi



BAB II
 PEMBAHASAN
Memahami Hubungan Antarpribadi
Hubungan antarpribadi memainkan peranan penting dalam membentuk kehidupan kita. Kita tergantung kepada orang lain dalam perasaan, pemahaman informasi, dukungan dan berbagai bentuk komunikasi yang mempengaruhi citra diri kita dan membantu kita mengenali harapan-harapan orang lain. Sejumlah penelitian menunjukan bahwa hubungan antar pribadi membuat kehidupan menjadi lebih berarti. Sebaliknya hubungan yang buruk bahkan dapat membawa efek negative bagi kesehatan. Seperti yang ditemukan oleh Patel (Reardon; 1987; 159) bahwa hubungan antar pribadi dalam keluarga dan tempat kerja yang penuh stress dapat meningkatkan kemungkinan seseorang untuk hipertensi. Sebaliknya pasangan suami istri yang saling mencintai dan mereka yang memiliki jaringan teman yang menyenangkan cenderung terhindar dari hipertensi. Orang memerlukan hubungan antarpribadi terutama untuk dua hal, yaitu perasaan (attachment) dan ketergantungan (dependency). Perasaan mengacu pada hubungan, yang secara emosional intensif. Sementara ketergantungan mengacu pada instrument perilaku antarpribadi, seperti membutuhkan bantuan, membutuhkan persetujuan, dan mencari kedekatan. Lebih lanjut selain kebutuhan berteman orang juga saling membutuhkan untuk kepentingan mempertahankan hidup. Kompleksitas kehidupan masa kini semakin membuat kita saling tergantung satu dengan yang lainnya, dibanding masa-masa sebelumnya. Hasilnya adalah kita saling perlu untuk saling berbagi dan bekerjasama. Salah satu karakteristik penting dalam hubungan antarpribadi adalah bahwa hubungan tersebut banyak yang tidak diciptakan atau diakhiri berdasarkan kemauan/kesadaran kita. Kita terlahir kedalam berbagai hubungan, sebagian berkaitan dengan pekerjaan dan lainnya merupakan hasil dari perkawinan, dan kita tidak selalu bebas untuk membentuk hubungan. Hubungan semacam ini berbeda dari hubungan yang secara sadar kita pilih/bentuk, karena kendala-kendala yang terdapat pada perilaku para partisipannya. Artinya kita tidak bias begitu saja memutuskan keluar dari hubungan antara kita dengan pimpinan, teman, orang tua, adik/kakak, tanpa harus mengorbankan sesuatu (pekerjaan, perasaan dsb) meskipun demikian banyak juga hubungan yang tidak kita rencanakan dapat menghadirkan dukungan social.
            Banyak factor yang mempengaruhi jumlah, jenis dan kualitas hubungan yang kita miliki, yang direncanakan maupun yang tidak kita rencanakan. Misalnya status social ekonomi, umur dan gender (jenis kelamin) akan mempengaruhi bukan saja kepada siapa kita berhubungan, tetapi juga bagaimana dan seberapa sering kita berinteraksi dengan orang lain. Orang yang memiliki status ekonomi yang berbeda akan meyebabkan peerbedaan sumber-sumber yang dimiliki untuk mengembangkan hubungan. Misalnya memiliki handphone dan memiliki modil akan membuat kita dapat berhubungan dengan orang yang mobilitasnya tinggi. Jenis pekerjaan dari oranng yang berbeda status social ekonominya juga mempengaruhi hubungan antarpribadinya, pekerjaan merupakan salah satu sumber hubungan social yang penting, karenanya mengetahui jumlah dan jenis hubungan antarpribadi mereka. Sementara itu beberapa penelitian menemukan bahwa orang pada masa pension memiliki hubungan social yang relative terlambat. Menurunnya kesehatan dan mobilitas membuat mereka agak sulit melakukan sosialisasi. Perbedaan kesempatan kerja antara wanita dan pria dan perbedaan aktivitas di luar rumah di antara mereka juga telah menyebabkan perbedaan pola dan jenis hubungan antarpribadi antara pria dan wanita. Penelitian lainnya mngemukakan bahwa gender berpengaruh dalam hal cara berkomunikasi. Wanita dianggap lebih banyak berbicara sekedar untuk berbicara, bila dibandingkan dengan pria. Wanita lebih banyak terlibat dalam pembicaraan yang bersifat pribadi, dan pada umumnya juga wanita lebih menaruh perhatian pada kualitas interaksi/hubungan.
            Uraian di atas menunjukan bahwa manusia tidak dapat menghindar dari jalinan hubungan dengan sesamanya. Kita meungkin memiliki kadar yang berbeda dlam membutuhkan orang lain, demikian pula mengenai nilai penting kuantitas dan kualitas hubungan antarpribadi. Meskipun demikian, secara pasti dapat dikatakan bahwa kita memrlukan hubungan antarpribadi. Bagian berikutnya kita akan membahas teori mengenai pengembangan hubungan, pemelliharaan, dan mengakhiri hubungan



Teori-teori Pengembangan Hubungan
Pemahaman mengenai hubungan merupakan suatu aspek penting dari studi komunikasi antar pribadi, karena hubungan berkembang dan berakhir melalui komunikasi. Telah puluhantahun para ahli mencoba untuk menentukan bagaimana hubungan terbentuk dan bagaimana hubungan berakhir. Pada bagian ini kita akan menyimak sejumlah teori yang menjelaskan bagaimana berkembangnya suatu hubungan. Dan tentunya penjelasan tersebut diharapkan akan memperkaya pemahaman kita terhdap proses pengembangan hubungan.
  1. self disclosure. Self disclosure atau proses pengungkapan diri yang telah lama menjadi focus penelitian dan teori komunikasi mengenai hubungan, merupakan proses mengungkapkan informasi pribadi kita kepada orang lain dan sebaliknya. Sidney Jourard (1971) menandai sehat atau tidaknya komunikasi antar pribadi dengan melihat keterbukaan yang terjadi dalam komunikasi. Mengungkapkan yang sebenarnya mengenai diri kita kepada orang lain yang juga bersedia mengungkapkan yang sebenarnya tentang dirinya, dipandang sebagai ukuran dari hubungan yang ideal.
Ahli lain Joseph Luft (Reardon; 1987;163) mengemukakan teori self disclosure yang didasarkan pada model interaksi manusia, yang disebut Johari Window. Menurut Luft, orang memiliki atribut yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri, hanya diketahui oleh orang lain, diketahui oleh dirinya sendiri dan orang lain dan tidak diketahu oleh siapapun. Jenis-jenis pengetahuan ini menunjuk pada keempat kuadran dari Johari Window. Idealnya, kuadran satu yang mencerminkan keterbukaan akan semakin membesar/meningkat. Jika komunikasi antara dua orang berlangsung dengan baik, maka akan terjadi disclosure yang mendorong informasi mengenai diri masing-masing kedalam kuadran “terbuka”. Kuadaran 4 sulit untuk diketahui, tetapi mungkin dapat dicapai melalui kegiatan seperti refleksi diri dan mimpi. Meskipun self-disclosur mendorong adanya keterbukaan, namun keterbukaan sendiri ada batasnya. Artinya perlu kita pertimbangkan kembali apakah menceritakan segala sesuatu tentang diri kita kepada orang lain akan menghasilkan efek positif bagi diri kita dengan orang tersebut. Bebrapa penelitian menunjukan bahwa keterbukaan yang ekstrim akan memberikan efek negative bagi hubungan. Seperti dikemukakan oleh Shirley Gilbert (Littlejohn;1989; 161) bahwa kepuasan dalam hubungan dan disclosure memiliki hubungan kurvalinear, yaitu tingkat kepuasanmencapai titik tertinggi pada tingkat disclosure yang sedang (moderate).
  1. Social Penetration. Altman dan Taylor (1973) mengemukakan suatu model perkembangan hubungan yang disebut social penetration atau penetrasi social, yaitu suatu proses di mana orang saling mengenal satu dengan lainnya. Model ini selain melibatkan self-disclosure juga menjelaskan bilamana harus melakukan self-disclosure dalam perkembangan hubungan.  Penetrasi merupakan proses bertahap, dimulai dari komunikasi basa-basi yang tidak akrab dan terus berlangsung hingga menyangkut topic pembicaraan yang lebih pribadi/akrab, seiring dengan berkebangnya hubungan. Di sini orang akan membiarkan orang lain untuk lebih mengenal dirinya secara bertahap. Dalam proses ini biasanya orang akan menggunakan persepsinya untuk menilai keseimbangan antara upaya dan ganjaran (costs and rewards) yang diterimanya atas pertukaran yang terus berlangsung untuk memperkirakan proses hubungan mereka. Jika perkiraan tersebut menjanjikan kesenangan/keuntungan, maka mereka secara bertahap akan bergerak menuju tingkat hubungan yang lebih akrab.
Altman dan Taylor menggunakan bawang merah (onion) sebagai analogi untuk menjelaskan bagaimana orang melalui interaksi saling mengelupas lapisan-lapisan informasi mengenai diri masing-masing. Lapisan luar berisi informasi superficial seperti nama, alamat atau umur. Ketika lapisan-lapisan ini sudah terkelupas; kita semakin mendekati lapisan terdalam yang berisi informasi yang lebih mendasar tentang kepribadian. Altman dan Taylor juga mengemukakan adanya dimensi “keleluasaan” dan “kedalaman” dari jenis-jenis informasi, yang menjelaskan bahwa pada setiap lapisan kepribadian. Keleluasaan mengacu pada banyaknya jenis-jenis informasi pada lapisan tertentu yang dapat diketahui oleh orang lain dalam pengembangan hubungan. Dimensi kedalaman mengacu pada lapisan informasi mana (yang lebih pribadi atau superficial) yang dapat dikemukakan pada orang lain. Kedalaman ini akan diasumsikan terus meniungkat sejalan dengan perkembangan hubungan.
Model ini menggambarkan perkembangan hubungan sebagai suatu proses, dimana hubungan adalah sesuatu yang terus berlangsung dan berubah.
1.      Process View.
Agak berbeda dengan teori sebelumnya, Steve Duck (1985) menganggap bahwa kualitas dan sifat hubungan dapat diperkirakan hanya dengan mengetahui atribut masing-masing sebagai individu dan kombinasi antara atribut-atribut tadi. Sebagai contoh, seorang ibu yang langsung menanggapi anaknya yang menangis akan membentuk hubungan ibu-anak yang berbeda dengan ibu lain yang menunggu sekian lama sebelum menanggapi anaknya yang menangis. Meskipun demikian mengetahui atribut masing-masing hanyalah salah satu aspek yang mempengaruhi hubungan. Untuk mengenali tahap (kualitas hubungan) yang terjadi kita dapat melihatnya dari bagaimana saling menanggapi. Lebih jauh Duck mengungkapkan bahwa hubungan tidak selalu berkembang dalam bentuk linear dan berjalan mulus, dan bahwa orang tidak selalu aktif mencari informasi mengenai partnernya, baisanya malahan informasi tersebut didapat secara kebetulan dan bukan sengaja dicari. Bagi Duck tidak semua hubungan akrab, tidak semua hubungan berkembang, dan hubungan dapat sekaligus stabil dan memuaskan.

2.      Social Exchange.
Teori ini menelaah bagaimana kontribusi seseorang dalam suatu hubungan mempengaruhi kontribusi orang lainnya. Thibaut dan Kelley, pencetus teori ini, mengemukakan bahwa yang mengevaluasi hubungannya dengan orang lain. Dengan mempertimbangkan konsekuensinya, khususnya terhadap ganjaran yang diperoleh dan upaya yang telah dilakukan, orang akan tetap memutuskan untuk tetap tingal dalam hubungan tersebut atau meninggalkannya (mempertahankan hubungan datau mengakhirinya). Ukuran bagi keseimbangan antara ganjaran dan upaya ini disebut comparisons level, dimana di atas ambang ukuran tersebut orang akan merasa puas dengan hubungannya. Misalnya kita beranggapan bahwa dasar dari persahabatan adalah kejujuran. Kita mengetahui bahwa sahabat kita berusaha untuk menipu, maka kita akan mempertimbangkan kembali hubungan persahabayan dengannya. Mungkin kita akan memutuskan untuk mengakhiri hubungan demi kebaikan, dengan kejujuran sebagai ambang ukuran, kita merasa bahwa ganjaran yang kita peroleh tidak sesuai dengan upaya kita untuk mempertahankan kejujuran dalam hubungan.
            Sementara itu comparison level of alternatives merupakan hasil terendah/terburuk dalam konteks ganjaran dan upaya yang dapat ditolerir seseorang dengan mempertimbangkan alternative-alternatif yang dia miliki. Jika seseorang tidak banyak memiliki alternative hubungan maka dia akan memberikan standar yang cukup itu seringkali dirasakan merugikan bagi dirinya, namun karena tidak banyak memiliki alternative hubungan, dia akan berusaha mempertimbangkan hubungan tersebut. Sedangkan orang yang banyak memiliki alternative akan lebih mudah meninggalkan suatu hubungan bila dirasakan bahwa hubungan tersebut sudah tidak memuaskan lagi. Konsekuansi suatu hubungan dan konsekuaensi yang digunakan akan berubah seiring dengan perjalanan hubungan tersebut.
Roloff (1981) mengemukakan bahwa asumsi tentang perhitungan antara ganjaran dan upaya (untung-rugi) tidak berarti bahwa orang selalu berusaha untuk saling mengeksploitasi, tetapi bahwa orang lebih memilih lingkungan dan hubungan yang dapat memberikan hasil yang diinginkannya. Tentunya kepentingan masing-masing orang akan dapat dipertemukan untuk dapat saling memuaskan daripada hubungan yang eksploitatif. Hubungan yang ideal akan terjadi bilamana kedua belah pihak dapat saling memberikan cukup keuntungan sehingga hubungan menjadi sumber yang dapat diandalkan bagi kepuasan kedua belah pihak.

Tahap-tahap dalam perkembangan dan Mengakhiri hubungan
Suatu kenyataan dalam kehidupan kita adalah bahwa banyak hubungan dengan orang lain bersifat temporer. Sahabat karib di masa anak-anak belum tentu berperan dalam kehidupan dewasa. Apalagi dalam masyarakat yang mobilitasnya tinggi, akan sulit untuk memelihara persahabatan, sehingga yang terjadi adalah seringnya kita memulai dan mengakhiri hubungan antarpribadi.Ketika mengembangkan dan mengakhiri hubungan, kita melewati serangkaian tahap keakraban/keintiman. Antara lain dari hubungan yang bukan yang bukan bersifat pribadi dengan menggunakan aturan-aturan ekstrinsik sampai kepada hubungan antarpribadi yang diatur oleh aturan-aturan intrinsik. Knapp (1978) merumuskan model tahapan hubungan yang menunjukan bahwa orang mempertimbangkan untuk menuju hubungan yang lebih akrab dengan orang lain. Menurutnya hubungan berkembang melalui lima tahap, yaitu inisiasi, eksperimen, intensifikasi, integrasi dan ikatan. Kelima tahapan ini lebih merupakan kecenderungan dari perkembangan hubungan, dan bukannya bagaimana seharusnya hubungan berkembang.
Inisiasi biasanya mencakup percakapan singkat dan saling memberi salam. Selama tahap eksperimen, masing-masing akan mengungkap informasi mengenai partnernya. Percakapan pada tahap ini berfungsi untuk menjajaki terjadinya hubungan lebih lanjut, dan membantu dalam mengungkap persamaan atau perbedaan kepentingan. Tahap intesifikasi melibatkan penyelidikan yang lebih mendalam pada kepribadian masing-masing. Tahap integrasi menciptakan rasa “bersama”, rasa kami/kita, dimana keduanya bertindak sebagai satu unit dan bukan sebagai individu yang terpisah. Keputusan yang dibuat pada tahap ini biasanya dilakukan berdua. Sementara tahapan terakhir yaitu ikatan, terjadi ketika keduanya masuk kepada suatu ritual yang secara formal mengakui hubungan jangka panjang. Acapkali dua orang dalam suatu hubungan berada pada tahap yang berbeda. Meskipun demikian, perbedaan ini dapat memberikan arti positif bagi perkembangan hubungan bila salah satu bisa mengarahkan yang lain untuk lebih memperhatikan hubungan mereka. Ketika perbedaan pandangan mengenai hubungan yang berlangsung menjadi semakin jelas, maka kemungkinan bagi menurunnya hubungan juga semakin jelas. Duck (1985) mengemukakan bahwa memburuknya hubungan antarpribadi akan melewati sejumlah tahap/batas. Setiap kali melewati batas merupakan pergantian kualitas hubungan. Model ini bertumpu pada asumsi bahwa disolusi (rusak/memburuk) suatu hubungan melibatkan keputusan-keputusan yang kompleks, dan bahwa hubungan antarpribadi akan membuat keputusan tersebut menjadi tidak sulit dan linear. Dengan kata lain, keputusan itu menghentikan suatu hubungan secara sporadis, tidak konsisten, ambivalen, dalam suatu periode tertentu. Seseorang mungkin akan terombang-ambing antara usaha untuk memperbaiki hubungan atau kepustusan untuk berpisah.
 Dalam fase ‘intra-psysic’ orang akan memusatkan perhatian pada partnernya dan menilai adanya ketidakpuasan di dalam hubungan. Pertimbangan mengenai persoalan-persoalan hubungan lebih banyak berada pada tingkat pribadi atau terakomulasi dalam dirinya sendiri dan hanya sedikt yang dikomunikasikan pada partnernya. Dalam konteks sosial exchange, orang yang hendak mengakhiri hubungan memerlukan waktu untuk menimbang ganjaran dan upaya,dan jika proses ini berlanjut maka dia akan memutuskan untuk menyampaikan secara eksplisit.
Pada fase dyadic, fokusnya ada hubungan itu sendiri. Dalam fase ini komunikasi akan bersifat langsung dan eksplisit, dan dinamika deri hubungan mereka juga dibicarakan. Seseorang akan terpaksa mempertimbangkan, bukan hanya sifat-sifat partnernya yang tidak menyenangkan, tetapi juga perspektif partnernya dan apa yang terkandung dalam perbedaan perspektif mengenai hubungan mereka. Dalam kondisi seperti ini akan terjadi pembicaraan panjang mengenai bagaimana memecahkan persoalan yang mereka hadapi, apa yang perlu dilakukan, atau apakah perlu untuk mengakhiri hubungan mereka. Fase dyadic dapat berakhir dengan suatu keputusan untuk memperbaiki hubungan mereka. Tetapi jika hal itu tidak dapat dicapai, proses akan berlanjut pada tahap berikutnya, dimana disolusi menjadi permasalahan sosial.
Fase sosial menuntut suatu fokus pada kelompok yang lebih besar seperti keluarga atau teman-teman. Pada fase ini pendapat dan perasaan dari orang-orang di luar hubungan menjadi pertimbangan. Orang di luar ini menjadi sangat berpengaruh terhadap keputusan apa yang harus diambil oleh mereka yang berada di dalam hubungan. Fase terakhir disebut grave dressing karena terjadi setelah pemutusan hubungan. Di sini masing-masing pihak akan memberikan alasannya sendiri, dan dengan cara-cara sendiri mereka akan mengatasi dan menyembuhkan diri dari kedukaan atas berakhirnya hubungan mereka.

Komunikasi antarpribadi bersifat dialogis, dalam arti arus balik antara komunikator dengan komunikan terjadi langsung, sehingga pada saat itu juga komunikator dapat mengetahui secara langsung tanggapan dari komunikan, dan secara pasti akan mengetahui apakah komunikasinya positif, negatif dan berhasil atau tidak. Apabila tidak berhasil, maka komunikator dapat memberi kesempatan kepada komunikan untuk bertanya seluas-luasnya. Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam penegasan istilah, penelitian ini lebih ditekankan pada dimensi psikologis perilaku komunikasi antarpribadi siswa. Sehingga secara psikologis perilaku komunikasi antarpribadi siswa meliputi keterbukaan, empati, dukungan, rasa positif dan kesetaraan. Berikut ini merupakan ciri-ciri efektifitas komunikasi antarpribadi menurut Kumar (Wiryanto, 2005: 36) dan De vito (Sugiyo, 2005: 4) bahwa ciri-ciri komunikasi antarpribadi tersebut yaitu:
1.      Keterbukaan (Openess), yaitu kemauan menanggapi dengan senang hati informasi yang diterima di dalam menghadapi hubungan antar pribadi.
2.      Empati (Empathy), yaitu merasakan apa yang dirasakan orang lain.
3.      Dukungan (Supportiveness), yaitu situasi yang terbuka untuk mendukung komunikasi berlangsung efektif.
4.      Rasa positif (positivenes), seseorang harus memiliki perasaan positif terhadap dirinya, mendorong orang lain lebih aktif berpartisipasi, dan menciptakan situasi komunikasi kondusif untuk interaksi yang efektif.
5.      Kesetaraan atau kesamaan (Equality), yaitu pengakuan secara diamdiam
bahwa kedua belah pihak menghargai, berguna, dan mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan.
Senada dengan yang dikemukakan oleh De vito (Sugiyo, 2005: 4) bahwa ciri-ciri komunikasi antarpribadi tersebut demikian. Dari kelima ciri-ciri efektifitas kamunikasi antar pribadi tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)      Keterbukaan (Openess)
Keterbukaan atau sikap terbuka sangat berpengaruh dalam menumbuhkan komunikasi antarpribadi yang efektif. Keterbukaan adalah pengungkapan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang dihadapi serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan untuk memberikan tanggapan kita di masa kini tersebut. Johnson Supratiknya, (1995: 14) mengartikan keterbukaan diri yaitu membagikan kepada orang lain perasaan kita terhadap sesuatu yang telah dikatakan atau dilakukan, atau perasaan kita terhadap kejadiankejadian yang baru saja kita saksikan. Secara psikologis, apabila individu mau membuka diri kepada orang lain, maka orang lain yang diajak bicara akan merasa aman dalam melakukan komunikasi antarpribadi yang akhirnya orang lain tersebut akan turut membuka diri. Brooks dan Emmert (Rahmat, 2005: 136) mengemukakan bahwa karakteristik orang yang terbuka adalah sebagai berikut:
a.       Menilai pesan secara objektif, dengan menggunakan data dan keajegan logika.
b.      Membedakan dengan mudah, melihat nuansa, dsb.
c.       Mencari informasi dari berbagai sumber
d.      Mencari pengertian pesan yang tidak sesuai dengan rangkaian kepercayaannya.
2)      Empati (Empathy)
Komunikasi antarpribadi dapat berlangsung kondusif apabila komunikator (pengirim pesan) menunjukkan rasa empati pada komunikan (penerima pesan). Menurut Sugiyo (2005: 5) empati dapat diartikan sebagai menghayati perasaan orang lain atau turut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Sementara Surya (Sugiyo, 2005: 5) mendefinisikan bahwa empati adalah sebagai suatu kesediaan untuk memahami orang lain secara paripurna baik yang nampak maupun yang terkandung, khususnya dalam aspek perasaan, pikiran dan keinginan. Individu dapat menempatkan diri dalam suasana perasaan, pikiran dan keinginan orang lain sedekat mungkin apabila individu tersebut dapat berempati. Apabila empati tersebut tumbuh dalam proses komunikasi antarpribadi, maka suasana hubungan komunikasi akan dapat berkembang dan tumbuh sikap saling pengertian dan penerimaan.
Menurut Winkel (1991: 175) bahwa empathy yaitu, konselor mampu mendalami pikiran dan menghayati perasaan siswa, seolah-olah konselor pada saat ini menjadi siswa, tanpa terbawa-bawa sendiri oleh semua itu dan kehilangan kesadaran akan pikiran serta perasaan pada diri sendiri.
Sedangkan Jumarin (2002: 97) menyatakan bahwa empati tidak saja berkaitan dengan aspek kognitif, tetapi juga mengandung aspek afektif, dan ditunjukkan dalam gerakan, cara berkomunikasi (mengandung dimensi kognitif, afektif, perseptual, somatic/kinesthetic, apperceptual dan communicative).
3)      Dukungan (Supportiveness)
Dalam komunikasi antarpribadi diperlukan sikap memberi dukungan dari pihak komunikator agar komunikan mau berpartisipasi dalam komunikasi. Hal ini senada dikemukakan Sugiyo (2005: 6) dalam komunikasi antarpribadi perlu adanya suasana yang mendukung atau memotivasi, lebih-lebih dari komunikator. Rahmat (2005 :133) mengemukakan bahwa “sikap supportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif . Orang yang defensif cenderung lebih banyak melindungi diri dari ancaman yang ditanggapinya ddalam situasi komunikan dari pada memahami pesan orang lain. Dukungan merupakan pemberian dorongan atau pengobaran semangat kepada orang lain dalam suasana hubungan komunikasi. Sehingga dengan adanya dukungan dalam situasi tersebut, komunikasi antarpribadi akan bertahan lama karena tercipta suasana yang mendukung. Jack R.Gibb (Rahmat, 2005: 134) menyebutkan beberapa perilaku yang menimbulkan perilaku suportif, yaitu:
a)      Deskripsi, yaitu menyampaikan perasaaan dan persepsi kepada orang lain tanpa menilai; tidak memuji atau mengecam, mengevaluasi pada gagasan, bukan pada pribadi orang lain, orang tersebut “merasa” bahwa kita menghargai diri mereka.
b)      Orientasi masalah, yaitu mengajak untuk bekerja sama mencari pemecahan masalah, tidak mendikte orang lian, tetapi secara bersamasama menetapkan tujuan dan memutuskan bagaimana mencapainya.
c)      Spontanitas, yaitu sikap jujur dan dianggap tidak menyelimuti motif yang terpendam.
d)     Provisionalisme, yaitu kesediaan untuk meninjau kembali pendapat diri sendiri, mengakui bahwa manusia tidak luput dari kesalahan sehingga wajar kalau pendapat dan keyakinan diri sendiri dapat berubah.
4)      Rasa positif (positivenes)
Rasa positif merupakan kecenderungan seseorang untuk mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebihan, menerima diri sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain, memiliki keyakinan atas kemampuannya untuk mengatasi persoalan, peka terhadap kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima. Dapat memberi dan menerima pujian tanpa pura-pura memberi dan menerima penghargaan tanpa merasa bersalah. Sugiyo (2005: 6) mengartikan bahwa rasa positif adalah adanya kecenderungan bertindak pada diri komunikator untuk memberikan penilaian yang positif pada diri komunikan. Dalam komunikasi antarpribadi hedaknya antara komunikator dengan komunikan saling menunjukkan sikap positif, karena dalam hubungan komunikasi tersebut akan muncul suasana menyenangkan, sehingga pemutusan hubungan komunikasi tidak dapat terjadi. Rahmat (2005: 105) menyatakan bahwa sukses komunikasi antarpribadi banyak tergantung pada kualitas pandangan dan perasaan diri; positif atau negatif. Pandangan dan perasaan tentang diri yang positif, akan lahir pola perilaku komunikasi antarpribadi yang positif pula.
5)      Kesetaraan (Equality)
Kesetaraan merupakan perasaan sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau rendah, walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang keluarga atau sikap orang lain terhadapnya. Rahmat (2005: 135) mengemukakan bahwa persamaan atau kesetaraan adalah sikap memperlakukan orang lain secara horizontal dan demokratis, tidak menunjukkan diri sendiri lebih tinggi atau lebih baik dari orang lain karena status, kekuasaan, kemampuan intelektual kekayaan atau kecantikan.

No comments:

Post a Comment