BAB II
PEMBAHASAN
Memahami Hubungan Antarpribadi
Hubungan antarpribadi memainkan
peranan penting dalam membentuk kehidupan kita. Kita tergantung kepada orang
lain dalam perasaan, pemahaman informasi, dukungan dan berbagai bentuk
komunikasi yang mempengaruhi citra diri kita dan membantu kita mengenali
harapan-harapan orang lain. Sejumlah penelitian menunjukan bahwa hubungan antar
pribadi membuat kehidupan menjadi lebih berarti. Sebaliknya hubungan yang buruk
bahkan dapat membawa efek negative bagi kesehatan. Seperti yang ditemukan oleh
Patel (Reardon; 1987; 159) bahwa hubungan antar pribadi dalam keluarga dan
tempat kerja yang penuh stress dapat meningkatkan kemungkinan seseorang untuk
hipertensi. Sebaliknya pasangan suami istri yang saling mencintai dan mereka
yang memiliki jaringan teman yang menyenangkan cenderung terhindar dari
hipertensi. Orang memerlukan hubungan antarpribadi terutama untuk dua hal,
yaitu perasaan (attachment) dan ketergantungan (dependency).
Perasaan mengacu pada hubungan, yang secara emosional intensif. Sementara
ketergantungan mengacu pada instrument perilaku antarpribadi, seperti
membutuhkan bantuan, membutuhkan persetujuan, dan mencari kedekatan. Lebih
lanjut selain kebutuhan berteman orang juga saling membutuhkan untuk kepentingan
mempertahankan hidup. Kompleksitas kehidupan masa kini semakin membuat kita
saling tergantung satu dengan yang lainnya, dibanding masa-masa sebelumnya.
Hasilnya adalah kita saling perlu untuk saling berbagi dan bekerjasama. Salah
satu karakteristik penting dalam hubungan antarpribadi adalah bahwa hubungan
tersebut banyak yang tidak diciptakan atau diakhiri berdasarkan
kemauan/kesadaran kita. Kita terlahir kedalam berbagai hubungan, sebagian
berkaitan dengan pekerjaan dan lainnya merupakan hasil dari perkawinan, dan
kita tidak selalu bebas untuk membentuk hubungan. Hubungan semacam ini berbeda
dari hubungan yang secara sadar kita pilih/bentuk, karena kendala-kendala yang
terdapat pada perilaku para partisipannya. Artinya kita tidak bias begitu saja
memutuskan keluar dari hubungan antara kita dengan pimpinan, teman, orang tua,
adik/kakak, tanpa harus mengorbankan sesuatu (pekerjaan, perasaan dsb) meskipun
demikian banyak juga hubungan yang tidak kita rencanakan dapat menghadirkan
dukungan social.
Banyak
factor yang mempengaruhi jumlah, jenis dan kualitas hubungan yang kita miliki,
yang direncanakan maupun yang tidak kita rencanakan. Misalnya status social
ekonomi, umur dan gender (jenis kelamin) akan mempengaruhi bukan saja kepada
siapa kita berhubungan, tetapi juga bagaimana dan seberapa sering kita
berinteraksi dengan orang lain. Orang yang memiliki status ekonomi yang berbeda
akan meyebabkan peerbedaan sumber-sumber yang dimiliki untuk mengembangkan
hubungan. Misalnya memiliki handphone dan memiliki modil akan membuat kita
dapat berhubungan dengan orang yang mobilitasnya tinggi. Jenis pekerjaan dari
oranng yang berbeda status social ekonominya juga mempengaruhi hubungan
antarpribadinya, pekerjaan merupakan salah satu sumber hubungan social yang penting,
karenanya mengetahui jumlah dan jenis hubungan antarpribadi mereka. Sementara
itu beberapa penelitian menemukan bahwa orang pada masa pension memiliki
hubungan social yang relative terlambat. Menurunnya kesehatan dan mobilitas
membuat mereka agak sulit melakukan sosialisasi. Perbedaan kesempatan kerja
antara wanita dan pria dan perbedaan aktivitas di luar rumah di antara mereka
juga telah menyebabkan perbedaan pola dan jenis hubungan antarpribadi antara
pria dan wanita. Penelitian lainnya mngemukakan bahwa gender berpengaruh dalam
hal cara berkomunikasi. Wanita dianggap lebih banyak berbicara sekedar untuk
berbicara, bila dibandingkan dengan pria. Wanita lebih banyak terlibat dalam
pembicaraan yang bersifat pribadi, dan pada umumnya juga wanita lebih menaruh
perhatian pada kualitas interaksi/hubungan.
Uraian
di atas menunjukan bahwa manusia tidak dapat menghindar dari jalinan hubungan
dengan sesamanya. Kita meungkin memiliki kadar yang berbeda dlam membutuhkan
orang lain, demikian pula mengenai nilai penting kuantitas dan kualitas
hubungan antarpribadi. Meskipun demikian, secara pasti dapat dikatakan bahwa
kita memrlukan hubungan antarpribadi. Bagian berikutnya kita akan membahas
teori mengenai pengembangan hubungan, pemelliharaan, dan mengakhiri hubungan
Teori-teori Pengembangan Hubungan
Pemahaman mengenai hubungan
merupakan suatu aspek penting dari studi komunikasi antar pribadi, karena
hubungan berkembang dan berakhir melalui komunikasi. Telah puluhantahun para
ahli mencoba untuk menentukan bagaimana hubungan terbentuk dan bagaimana
hubungan berakhir. Pada bagian ini kita akan menyimak sejumlah teori yang
menjelaskan bagaimana berkembangnya suatu hubungan. Dan tentunya penjelasan
tersebut diharapkan akan memperkaya pemahaman kita terhdap proses pengembangan
hubungan.
- self disclosure. Self disclosure atau proses pengungkapan diri yang telah lama menjadi focus penelitian dan teori komunikasi mengenai hubungan, merupakan proses mengungkapkan informasi pribadi kita kepada orang lain dan sebaliknya. Sidney Jourard (1971) menandai sehat atau tidaknya komunikasi antar pribadi dengan melihat keterbukaan yang terjadi dalam komunikasi. Mengungkapkan yang sebenarnya mengenai diri kita kepada orang lain yang juga bersedia mengungkapkan yang sebenarnya tentang dirinya, dipandang sebagai ukuran dari hubungan yang ideal.
Ahli lain Joseph Luft (Reardon;
1987;163) mengemukakan teori self disclosure yang didasarkan
pada model interaksi manusia, yang disebut Johari Window. Menurut Luft, orang
memiliki atribut yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri, hanya diketahui
oleh orang lain, diketahui oleh dirinya sendiri dan orang lain dan tidak
diketahu oleh siapapun. Jenis-jenis pengetahuan ini menunjuk pada keempat
kuadran dari Johari Window. Idealnya, kuadran satu yang mencerminkan
keterbukaan akan semakin membesar/meningkat. Jika komunikasi antara dua orang
berlangsung dengan baik, maka akan terjadi disclosure yang mendorong informasi
mengenai diri masing-masing kedalam kuadran “terbuka”. Kuadaran 4 sulit untuk
diketahui, tetapi mungkin dapat dicapai melalui kegiatan seperti refleksi diri
dan mimpi. Meskipun self-disclosur mendorong adanya keterbukaan, namun
keterbukaan sendiri ada batasnya. Artinya perlu kita pertimbangkan
kembali apakah menceritakan segala sesuatu tentang diri kita kepada orang lain
akan menghasilkan efek positif bagi diri kita dengan orang tersebut. Bebrapa
penelitian menunjukan bahwa keterbukaan yang ekstrim akan memberikan efek negative
bagi hubungan. Seperti dikemukakan oleh Shirley Gilbert (Littlejohn;1989;
161) bahwa kepuasan dalam hubungan dan disclosure memiliki hubungan
kurvalinear, yaitu tingkat kepuasanmencapai titik tertinggi pada tingkat
disclosure yang sedang (moderate).
- Social Penetration. Altman dan Taylor (1973) mengemukakan suatu model perkembangan hubungan yang disebut social penetration atau penetrasi social, yaitu suatu proses di mana orang saling mengenal satu dengan lainnya. Model ini selain melibatkan self-disclosure juga menjelaskan bilamana harus melakukan self-disclosure dalam perkembangan hubungan. Penetrasi merupakan proses bertahap, dimulai dari komunikasi basa-basi yang tidak akrab dan terus berlangsung hingga menyangkut topic pembicaraan yang lebih pribadi/akrab, seiring dengan berkebangnya hubungan. Di sini orang akan membiarkan orang lain untuk lebih mengenal dirinya secara bertahap. Dalam proses ini biasanya orang akan menggunakan persepsinya untuk menilai keseimbangan antara upaya dan ganjaran (costs and rewards) yang diterimanya atas pertukaran yang terus berlangsung untuk memperkirakan proses hubungan mereka. Jika perkiraan tersebut menjanjikan kesenangan/keuntungan, maka mereka secara bertahap akan bergerak menuju tingkat hubungan yang lebih akrab.
Altman dan
Taylor menggunakan bawang merah (onion) sebagai analogi untuk menjelaskan
bagaimana orang melalui interaksi saling mengelupas lapisan-lapisan informasi
mengenai diri masing-masing. Lapisan luar berisi informasi superficial seperti
nama, alamat atau umur. Ketika lapisan-lapisan ini sudah terkelupas; kita
semakin mendekati lapisan terdalam yang berisi informasi yang lebih mendasar
tentang kepribadian. Altman dan Taylor juga mengemukakan adanya dimensi
“keleluasaan” dan “kedalaman” dari jenis-jenis informasi, yang menjelaskan
bahwa pada setiap lapisan kepribadian. Keleluasaan mengacu pada banyaknya
jenis-jenis informasi pada lapisan tertentu yang dapat diketahui oleh orang
lain dalam pengembangan hubungan. Dimensi kedalaman mengacu pada lapisan
informasi mana (yang lebih pribadi atau superficial) yang dapat dikemukakan
pada orang lain. Kedalaman ini akan diasumsikan terus meniungkat sejalan dengan
perkembangan hubungan.
Model ini
menggambarkan perkembangan hubungan sebagai suatu proses, dimana hubungan
adalah sesuatu yang terus berlangsung dan berubah.
1. Process
View.
Agak berbeda
dengan teori sebelumnya, Steve Duck (1985) menganggap bahwa kualitas dan sifat
hubungan dapat diperkirakan hanya dengan mengetahui atribut masing-masing
sebagai individu dan kombinasi antara atribut-atribut tadi. Sebagai contoh,
seorang ibu yang langsung menanggapi anaknya yang menangis akan membentuk
hubungan ibu-anak yang berbeda dengan ibu lain yang menunggu sekian lama
sebelum menanggapi anaknya yang menangis. Meskipun demikian mengetahui atribut
masing-masing hanyalah salah satu aspek yang mempengaruhi hubungan. Untuk
mengenali tahap (kualitas hubungan) yang terjadi kita dapat melihatnya dari
bagaimana saling menanggapi. Lebih jauh Duck mengungkapkan bahwa hubungan tidak
selalu berkembang dalam bentuk linear dan berjalan mulus, dan bahwa orang tidak
selalu aktif mencari informasi mengenai partnernya, baisanya malahan informasi
tersebut didapat secara kebetulan dan bukan sengaja dicari. Bagi Duck tidak
semua hubungan akrab, tidak semua hubungan berkembang, dan hubungan dapat
sekaligus stabil dan memuaskan.
2. Social
Exchange.
Teori ini
menelaah bagaimana kontribusi seseorang dalam suatu hubungan mempengaruhi
kontribusi orang lainnya. Thibaut dan Kelley, pencetus teori ini, mengemukakan
bahwa yang mengevaluasi hubungannya dengan orang lain. Dengan mempertimbangkan
konsekuensinya, khususnya terhadap ganjaran yang diperoleh dan upaya yang telah
dilakukan, orang akan tetap memutuskan untuk tetap tingal dalam hubungan
tersebut atau meninggalkannya (mempertahankan hubungan datau mengakhirinya).
Ukuran bagi keseimbangan antara ganjaran dan upaya ini disebut comparisons
level, dimana di atas ambang ukuran tersebut orang akan merasa puas dengan
hubungannya. Misalnya kita beranggapan bahwa dasar dari persahabatan adalah
kejujuran. Kita mengetahui bahwa sahabat kita berusaha untuk menipu, maka kita
akan mempertimbangkan kembali hubungan persahabayan dengannya. Mungkin kita
akan memutuskan untuk mengakhiri hubungan demi kebaikan, dengan kejujuran
sebagai ambang ukuran, kita merasa bahwa ganjaran yang kita peroleh tidak
sesuai dengan upaya kita untuk mempertahankan kejujuran dalam hubungan.
Sementara itu comparison level of
alternatives merupakan hasil terendah/terburuk dalam konteks ganjaran dan upaya
yang dapat ditolerir seseorang dengan mempertimbangkan alternative-alternatif
yang dia miliki. Jika seseorang tidak banyak memiliki alternative hubungan maka
dia akan memberikan standar yang cukup itu seringkali dirasakan merugikan bagi
dirinya, namun karena tidak banyak memiliki alternative hubungan, dia akan
berusaha mempertimbangkan hubungan tersebut. Sedangkan orang yang banyak
memiliki alternative akan lebih mudah meninggalkan suatu hubungan bila
dirasakan bahwa hubungan tersebut sudah tidak memuaskan lagi. Konsekuansi suatu
hubungan dan konsekuaensi yang digunakan akan berubah seiring dengan perjalanan
hubungan tersebut.
Roloff
(1981) mengemukakan bahwa asumsi tentang perhitungan antara ganjaran dan upaya
(untung-rugi) tidak berarti bahwa orang selalu berusaha untuk saling
mengeksploitasi, tetapi bahwa orang lebih memilih lingkungan dan hubungan yang
dapat memberikan hasil yang diinginkannya. Tentunya kepentingan masing-masing
orang akan dapat dipertemukan untuk dapat saling memuaskan daripada hubungan
yang eksploitatif. Hubungan yang ideal akan terjadi bilamana kedua belah pihak
dapat saling memberikan cukup keuntungan sehingga hubungan menjadi sumber yang
dapat diandalkan bagi kepuasan kedua belah pihak.
Tahap-tahap
dalam perkembangan dan Mengakhiri hubungan
Suatu kenyataan dalam kehidupan kita
adalah bahwa banyak hubungan dengan orang lain bersifat temporer. Sahabat karib
di masa anak-anak belum tentu berperan dalam kehidupan dewasa. Apalagi dalam
masyarakat yang mobilitasnya tinggi, akan sulit untuk memelihara persahabatan,
sehingga yang terjadi adalah seringnya kita memulai dan mengakhiri hubungan
antarpribadi.Ketika mengembangkan dan mengakhiri hubungan, kita melewati
serangkaian tahap keakraban/keintiman. Antara lain dari hubungan yang bukan
yang bukan bersifat pribadi dengan menggunakan aturan-aturan ekstrinsik sampai
kepada hubungan antarpribadi yang diatur oleh aturan-aturan intrinsik. Knapp
(1978) merumuskan model tahapan hubungan yang menunjukan bahwa orang
mempertimbangkan untuk menuju hubungan yang lebih akrab dengan orang lain.
Menurutnya hubungan berkembang melalui lima tahap, yaitu inisiasi, eksperimen,
intensifikasi, integrasi dan ikatan. Kelima tahapan ini lebih merupakan
kecenderungan dari perkembangan hubungan, dan bukannya bagaimana seharusnya
hubungan berkembang.
Inisiasi biasanya
mencakup percakapan singkat dan saling memberi salam. Selama tahap eksperimen,
masing-masing akan mengungkap informasi mengenai partnernya. Percakapan pada
tahap ini berfungsi untuk menjajaki terjadinya hubungan lebih lanjut, dan
membantu dalam mengungkap persamaan atau perbedaan kepentingan. Tahap intesifikasi
melibatkan penyelidikan yang lebih mendalam pada kepribadian masing-masing.
Tahap integrasi menciptakan rasa “bersama”, rasa kami/kita, dimana keduanya
bertindak sebagai satu unit dan bukan sebagai individu yang terpisah. Keputusan
yang dibuat pada tahap ini biasanya dilakukan berdua. Sementara tahapan
terakhir yaitu ikatan, terjadi ketika keduanya masuk kepada suatu ritual yang
secara formal mengakui hubungan jangka panjang. Acapkali dua orang dalam suatu
hubungan berada pada tahap yang berbeda. Meskipun demikian, perbedaan ini dapat
memberikan arti positif bagi perkembangan hubungan bila salah satu bisa
mengarahkan yang lain untuk lebih memperhatikan hubungan mereka. Ketika
perbedaan pandangan mengenai hubungan yang berlangsung menjadi semakin jelas,
maka kemungkinan bagi menurunnya hubungan juga semakin jelas. Duck (1985)
mengemukakan bahwa memburuknya hubungan antarpribadi akan melewati sejumlah
tahap/batas. Setiap kali melewati batas merupakan pergantian kualitas hubungan.
Model ini bertumpu pada asumsi bahwa disolusi (rusak/memburuk) suatu hubungan
melibatkan keputusan-keputusan yang kompleks, dan bahwa hubungan antarpribadi
akan membuat keputusan tersebut menjadi tidak sulit dan linear. Dengan kata
lain, keputusan itu menghentikan suatu hubungan secara sporadis, tidak
konsisten, ambivalen, dalam suatu periode tertentu. Seseorang mungkin akan
terombang-ambing antara usaha untuk memperbaiki hubungan atau kepustusan untuk
berpisah.
Dalam fase ‘intra-psysic’ orang akan
memusatkan perhatian pada partnernya dan menilai adanya ketidakpuasan di dalam
hubungan. Pertimbangan mengenai persoalan-persoalan hubungan lebih banyak
berada pada tingkat pribadi atau terakomulasi dalam dirinya sendiri dan hanya
sedikt yang dikomunikasikan pada partnernya. Dalam konteks sosial exchange,
orang yang hendak mengakhiri hubungan memerlukan waktu untuk menimbang ganjaran
dan upaya,dan jika proses ini berlanjut maka dia akan memutuskan untuk
menyampaikan secara eksplisit.
Pada fase dyadic, fokusnya ada
hubungan itu sendiri. Dalam fase ini komunikasi akan bersifat langsung dan
eksplisit, dan dinamika deri hubungan mereka juga dibicarakan. Seseorang akan
terpaksa mempertimbangkan, bukan hanya sifat-sifat partnernya yang tidak
menyenangkan, tetapi juga perspektif partnernya dan apa yang terkandung dalam
perbedaan perspektif mengenai hubungan mereka. Dalam kondisi seperti ini akan
terjadi pembicaraan panjang mengenai bagaimana memecahkan persoalan yang mereka
hadapi, apa yang perlu dilakukan, atau apakah perlu untuk mengakhiri hubungan
mereka. Fase dyadic dapat berakhir dengan suatu keputusan untuk memperbaiki
hubungan mereka. Tetapi jika hal itu tidak dapat dicapai, proses akan berlanjut
pada tahap berikutnya, dimana disolusi menjadi permasalahan sosial.
Fase sosial menuntut suatu fokus
pada kelompok yang lebih besar seperti keluarga atau teman-teman. Pada fase ini
pendapat dan perasaan dari orang-orang di luar hubungan menjadi pertimbangan.
Orang di luar ini menjadi sangat berpengaruh terhadap keputusan apa yang harus
diambil oleh mereka yang berada di dalam hubungan. Fase terakhir disebut grave
dressing karena terjadi setelah pemutusan hubungan. Di sini masing-masing pihak
akan memberikan alasannya sendiri, dan dengan cara-cara sendiri mereka akan
mengatasi dan menyembuhkan diri dari kedukaan atas berakhirnya hubungan mereka.
Komunikasi antarpribadi bersifat
dialogis, dalam arti arus balik antara komunikator dengan komunikan terjadi
langsung, sehingga pada saat itu juga komunikator dapat mengetahui secara
langsung tanggapan dari komunikan, dan secara pasti akan mengetahui apakah
komunikasinya positif, negatif dan berhasil atau tidak. Apabila tidak berhasil,
maka komunikator dapat memberi kesempatan kepada komunikan untuk bertanya
seluas-luasnya. Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam penegasan istilah,
penelitian ini lebih ditekankan pada dimensi psikologis perilaku komunikasi
antarpribadi siswa. Sehingga secara psikologis perilaku komunikasi antarpribadi
siswa meliputi keterbukaan, empati, dukungan, rasa positif dan kesetaraan. Berikut ini
merupakan ciri-ciri efektifitas komunikasi antarpribadi menurut Kumar
(Wiryanto, 2005: 36) dan De vito (Sugiyo, 2005: 4) bahwa ciri-ciri komunikasi
antarpribadi tersebut yaitu:
1.
Keterbukaan (Openess), yaitu kemauan
menanggapi dengan senang hati informasi yang diterima di dalam menghadapi
hubungan antar pribadi.
2.
Empati (Empathy), yaitu merasakan
apa yang dirasakan orang lain.
3.
Dukungan (Supportiveness), yaitu
situasi yang terbuka untuk mendukung komunikasi berlangsung efektif.
4.
Rasa positif (positivenes),
seseorang harus memiliki perasaan positif terhadap dirinya, mendorong orang
lain lebih aktif berpartisipasi, dan menciptakan situasi komunikasi kondusif
untuk interaksi yang efektif.
5.
Kesetaraan atau kesamaan (Equality),
yaitu pengakuan secara diamdiam
bahwa kedua belah pihak menghargai, berguna, dan mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan.
bahwa kedua belah pihak menghargai, berguna, dan mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan.
Senada dengan yang dikemukakan oleh
De vito (Sugiyo, 2005: 4) bahwa ciri-ciri komunikasi antarpribadi tersebut
demikian. Dari kelima ciri-ciri efektifitas kamunikasi antar pribadi tersebut,
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)
Keterbukaan (Openess)
Keterbukaan atau sikap terbuka sangat berpengaruh
dalam menumbuhkan komunikasi antarpribadi yang efektif. Keterbukaan adalah
pengungkapan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang dihadapi
serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan untuk memberikan
tanggapan kita di masa kini tersebut. Johnson
Supratiknya, (1995: 14) mengartikan keterbukaan diri yaitu membagikan kepada
orang lain perasaan kita terhadap sesuatu yang telah dikatakan atau dilakukan,
atau perasaan kita terhadap kejadiankejadian yang baru saja kita saksikan. Secara
psikologis, apabila individu mau membuka diri kepada orang lain, maka orang
lain yang diajak bicara akan merasa aman dalam melakukan komunikasi
antarpribadi yang akhirnya orang lain tersebut akan turut membuka diri. Brooks dan
Emmert (Rahmat, 2005: 136) mengemukakan bahwa karakteristik orang yang terbuka
adalah sebagai berikut:
a.
Menilai pesan secara objektif,
dengan menggunakan data dan keajegan logika.
b.
Membedakan dengan mudah, melihat
nuansa, dsb.
c.
Mencari informasi dari berbagai
sumber
d.
Mencari pengertian pesan yang tidak
sesuai dengan rangkaian kepercayaannya.
2)
Empati (Empathy)
Komunikasi
antarpribadi dapat berlangsung kondusif apabila komunikator (pengirim pesan)
menunjukkan rasa empati pada komunikan (penerima pesan). Menurut Sugiyo (2005:
5) empati dapat diartikan sebagai menghayati perasaan orang lain atau turut
merasakan apa yang dirasakan orang lain. Sementara Surya (Sugiyo, 2005: 5)
mendefinisikan bahwa empati adalah sebagai suatu kesediaan untuk memahami orang
lain secara paripurna baik yang nampak maupun yang terkandung, khususnya dalam
aspek perasaan, pikiran dan keinginan. Individu dapat menempatkan diri dalam
suasana perasaan, pikiran dan keinginan orang lain sedekat mungkin apabila
individu tersebut dapat berempati. Apabila empati tersebut tumbuh dalam proses
komunikasi antarpribadi, maka suasana hubungan komunikasi akan dapat berkembang
dan tumbuh sikap saling pengertian dan penerimaan.
Menurut Winkel (1991: 175) bahwa empathy yaitu, konselor mampu mendalami pikiran dan menghayati perasaan siswa, seolah-olah konselor pada saat ini menjadi siswa, tanpa terbawa-bawa sendiri oleh semua itu dan kehilangan kesadaran akan pikiran serta perasaan pada diri sendiri.
Sedangkan Jumarin (2002: 97) menyatakan bahwa empati tidak saja berkaitan dengan aspek kognitif, tetapi juga mengandung aspek afektif, dan ditunjukkan dalam gerakan, cara berkomunikasi (mengandung dimensi kognitif, afektif, perseptual, somatic/kinesthetic, apperceptual dan communicative).
Menurut Winkel (1991: 175) bahwa empathy yaitu, konselor mampu mendalami pikiran dan menghayati perasaan siswa, seolah-olah konselor pada saat ini menjadi siswa, tanpa terbawa-bawa sendiri oleh semua itu dan kehilangan kesadaran akan pikiran serta perasaan pada diri sendiri.
Sedangkan Jumarin (2002: 97) menyatakan bahwa empati tidak saja berkaitan dengan aspek kognitif, tetapi juga mengandung aspek afektif, dan ditunjukkan dalam gerakan, cara berkomunikasi (mengandung dimensi kognitif, afektif, perseptual, somatic/kinesthetic, apperceptual dan communicative).
3)
Dukungan (Supportiveness)
Dalam
komunikasi antarpribadi diperlukan sikap memberi dukungan dari pihak
komunikator agar komunikan mau berpartisipasi dalam komunikasi. Hal ini senada
dikemukakan Sugiyo (2005: 6) dalam komunikasi antarpribadi perlu adanya suasana
yang mendukung atau memotivasi, lebih-lebih dari komunikator. Rahmat (2005
:133) mengemukakan bahwa “sikap supportif adalah sikap yang mengurangi sikap
defensif . Orang yang defensif cenderung lebih banyak melindungi diri dari
ancaman yang ditanggapinya ddalam situasi komunikan dari pada memahami pesan
orang lain. Dukungan merupakan pemberian
dorongan atau pengobaran semangat kepada orang lain dalam suasana hubungan
komunikasi. Sehingga dengan adanya dukungan dalam situasi tersebut, komunikasi
antarpribadi akan bertahan lama karena tercipta suasana yang mendukung. Jack
R.Gibb (Rahmat, 2005: 134) menyebutkan beberapa perilaku yang menimbulkan perilaku
suportif, yaitu:
a)
Deskripsi, yaitu menyampaikan
perasaaan dan persepsi kepada orang lain tanpa menilai; tidak memuji atau
mengecam, mengevaluasi pada gagasan, bukan pada pribadi orang lain, orang
tersebut “merasa” bahwa kita menghargai diri mereka.
b)
Orientasi masalah, yaitu mengajak
untuk bekerja sama mencari pemecahan masalah, tidak mendikte orang lian, tetapi
secara bersamasama menetapkan tujuan dan memutuskan bagaimana mencapainya.
c)
Spontanitas, yaitu sikap jujur dan
dianggap tidak menyelimuti motif yang terpendam.
d)
Provisionalisme, yaitu kesediaan
untuk meninjau kembali pendapat diri sendiri, mengakui bahwa manusia tidak
luput dari kesalahan sehingga wajar kalau pendapat dan keyakinan diri sendiri
dapat berubah.
4)
Rasa positif (positivenes)
Rasa positif
merupakan kecenderungan seseorang untuk mampu bertindak berdasarkan penilaian
yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebihan, menerima diri sebagai orang
yang penting dan bernilai bagi orang lain, memiliki keyakinan atas kemampuannya
untuk mengatasi persoalan, peka terhadap kebutuhan orang lain, pada kebiasaan
sosial yang telah diterima. Dapat memberi dan menerima pujian tanpa pura-pura
memberi dan menerima penghargaan tanpa merasa bersalah. Sugiyo
(2005: 6) mengartikan bahwa rasa positif adalah adanya kecenderungan bertindak
pada diri komunikator untuk memberikan penilaian yang positif pada diri
komunikan. Dalam komunikasi antarpribadi hedaknya antara komunikator dengan
komunikan saling menunjukkan sikap positif, karena dalam hubungan komunikasi
tersebut akan muncul suasana menyenangkan, sehingga pemutusan hubungan
komunikasi tidak dapat terjadi. Rahmat (2005: 105) menyatakan bahwa sukses
komunikasi antarpribadi banyak tergantung pada kualitas pandangan dan perasaan
diri; positif atau negatif. Pandangan dan perasaan tentang diri yang positif, akan lahir
pola perilaku komunikasi antarpribadi yang positif pula.
5)
Kesetaraan (Equality)
Kesetaraan
merupakan perasaan sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau
rendah, walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang
keluarga atau sikap orang lain terhadapnya. Rahmat (2005: 135) mengemukakan
bahwa persamaan atau kesetaraan adalah sikap memperlakukan orang lain secara
horizontal dan demokratis, tidak menunjukkan diri sendiri lebih tinggi atau
lebih baik dari orang lain karena status, kekuasaan, kemampuan intelektual
kekayaan atau kecantikan.
No comments:
Post a Comment