BAB I
PEDAHULUAN
A.
Latar belakang
Manusia
adalah makhluk ciptaan tuhan yang mengalami proses pertumbuhan dan
perkembangan. Dalam proses terjadi perubahan baik secara fisiologis maupun psikologis,
perubahan tersebut bersifat kualitatfi dan kuantitatif. Oleh karena itu
perkembangan tidak pernah statis dari saat perubahan hingga akhirnya
perkembangan berakhir ( kemtian ).
Perubahan
dan perkembangan tersebut menyebabkan segala yang ada yang terkait dengan
bentuk dan kepribadian manusia tersebut juga akan mengalami perubahan. Baik itu
dari segi bentuk tubuh, perubahan prilaku, sikap dan kejiwaannya.
B.
Permasalahan
Untuk lebih jelasnya pembahasan
terkait tentang “ Sikap dan Prasangka”, maka penulis akan sedikit memberikan
penjelasan tentang :
1. Apa yang dimaksud dengan Sikap ?
2. Apa faktor penyebab Terbentuknya Sikap ?
3.
Bagaimana
cara Pengukuran Sikap ?
4. Jelaskan Pengertian Prasangka ?
5. Sebutkan Sumber-sumber Prasangka ?
6.
Bagaimana
cara Mengatasi Prasangka ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian sikap
Banyak para ahli yang memberikan pendapat tentang
pengertian sikap, namun di bawah ini penulis hanya akan memberikan sedikit
gambaran umum terkait pengertian sikap, diantaranya :
1. Menurut Sarnoff (dalam Sarwono, 2000) mengidentifikasikan sikap sebagai
kesediaan untuk bereaksi (disposition to react) secara positif (favorably)
atau secara negatif (unfavorably) terhadap obyek – obyek tertentu.
D.Krech dan R.S Crutchfield (dalam Sears, 1999) berpendapat bahwa sikap sebagai
organisasi yang bersifat menetap dari proses motivasional, emosional,
perseptual, dan kognitif mengenai aspek dunia individu.
2. Menurut La Pierre (dalam Azwar, 2003) memberikan definisi sikap sebagai
suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk
menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah
respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Lebih lanjut Soetarno
(1994) memberikan definisi sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai
kecenderungan untuk bertindak terhadap obyek tertentu. Sikap senantiasa
diarahkan kepada sesuatu artinya tidak ada sikap tanpa obyek. Sikap diarahkan
kepada benda-benda, orang, peritiwa, pandangan, lembaga, norma dan lain-lain.
Meskipun ada beberapa perbedaan pengertian sikap,
tetapi berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas maka dapat disimpulkan
bahwa sikap adalah keadaan diri dalam manusia yang menggerakkan untuk
bertindak atau berbuat dalam kegiatan sosial dengan perasaan tertentu di dalam
menanggapi obyek situasi atau kondisi di lingkungan sekitarnya. Selain itu
sikap juga memberikan kesiapan untuk merespon yang sifatnya positif atau
negatif terhadap obyek atau situasi.[1]
B.
Terbentuknya sikap
Proses
pembentukan sikap berlangsung secara bertahap. Ada beberapa faktor yang menjadi
penyebab terbentuknya sikap, yakni :
a) Pengalaman pribadi. Untuk dapat menjadi
dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi harus meninggalkan kesan yang kuat.
Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi
tersebut melibatkan faktor emosional. Dalam situasi yang melibatkan
emosi, penghayatan akan pengalaman akan lebih mendalam dan lebih lama berbekas.
b) Kebudayaan. B.F. Skinner (dalam,
Azwar 2005) menekankan pengaruh lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam
membentuk kepribadian seseorang. Kepribadian tidak lain daripada pola perilaku
yang konsisten yang menggambarkan sejarah reinforcement (penguatan, ganjaran)
yang dimiliki. Pola reinforcement dari masyarakat untuk sikap dan perilaku
tersebut, bukan untuk sikap dan perilaku yang lain.
c) Orang lain yang dianggap penting. Pada umumnya, individu bersikap konformis atau searah dengan sikap orang
orang yang dianggapnya penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh
keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan
orang yang dianggap penting tersebut.
d) Media massa. Sebagai sarana
komunikasi, berbagai media massa seperti televisi, radio, mempunyai pengaruh
besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Adanya informasi baru
mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap
terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa informasi tersebut,
apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam mempersepsikan dan menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
e) Institusi Pendidikan dan Agama. Sebagai suatu sistem, institusi pendidikan dan agama mempunyai pengaruh
kuat dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian
dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis
pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari
pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.
f) Faktor emosi dalam diri. Tidak semua bentuk
sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang.
Kadang-kadang, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi
yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk
mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian bersifat sementara dan segera berlalu begitu
frustasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih
persisten dan lebih tahan lama. contohnya bentuk sikap yang didasari oleh
faktor emosional adalah prasangka.
C. Pengukuran sikap
Salah satu problem metodologi dasar dalam psikologi
ssial adalah bagaimana mengukur sikap seseorang. Beberapa teknik pengukuran
sikap: antara lain: Skala Thrustone, Likert, Unobstrusive Measures, Analisis
Skalogram dan Skala Kumulatif, dan Multidimensional Scaling.
1. Skala
Thurstone (Method of Equel-Appearing Intervals)
Metode ini mencoba menempatkan sikap seseorang pada rentangan kontinum dari
yang sangat unfavorabel hingga sangat fafovabel terhadap suatu obyek sikap.
Caranya dengan memberikan orang tersebut sejumlah aitem sikap yang telah
ditentukan derajad favorabilitasnya. Tahap yang paling kritis dalam menyusun
alat ini seleksi awal terhadap pernyataan sikap dan penghitungan ukuran yang
mencerminkan derajad favorabilitas dari masing-masing pernyataan. Derajat (ukuran)
favorabilitas ini disebut nilai skala.
Untuk menghitung nilai skala dan memilih pernyataan sikap, pembuat skala
perlu membuat sampel pernyataan sikap sekitar lebih 100 buah atau lebih.
Penrnyataan-pernyataan itu kemudian diberikan kepada beberapa orang penilai
(judges). Penilai ini bertugas untuk menentukan derajat favorabilitas
masing-masing pernyataan. Favorabilitas penilai itu diekspresikan melalui titik
skala rating yang memiliki rentang 1-11. Sangat tidak setuju 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 Sangat setuju Tugas penilai ini bukan untuk menyampaikan setuju tidaknya
mereka terhadap pernyataan itu.
Median atau rerata perbedaan penilaian antar penilai terhadap aitem ini
kemudian dijadikan sebagai nilai skala masing-masing aitem. Pembuat skala
kemudian menyusun aitem mulai dari atem yang memiliki nilai skala terrendah
hingga tertinggi. Dari aitem-aitem tersebut, pembuat skala kemudian memilih
aitem untuk kuesioner skala sikap yang sesungguhnya. Dalam penelitian, skala
yang telah dibuat ini kemudian diberikan pada responden. Responden diminta
untuk menunjukkan seberapa besar kesetujuan atau ketidaksetujuannya pada
masing-masing aitem sikap tersebut.
2.
Skala Likert (Method of Summateds
Ratings)
Likert (1932) mengajukan metodenya sebagai alternatif yang lebih sederhana
dibandingkan dengan skala Thurstone. Skala Thurstone yang terdiri dari 11 point
disederhanakan menjadi dua kelompok, yaitu yang favorable dan yang unfavorabel.
Sedangkan aitem yang netral tidak disertakan. Untuk mengatasi hilangnya netral
tersebut, Likert menggunakan teknik konstruksi test yang lain. Masing-masing
responden diminta melakukan egreement atau disegreemenn-nya untuk masing-masing
aitem dalam skala yang terdiri dari 5 point ( Sangat seuju, Setuju, Ragu-ragu,
Tidak setuju, Sangat Tidak Setuju).
Semua aitem yang favorabel kemudian diubah nilainya dalam angka, yaitu
untuk sangat setuju nilainya 5 sedangkan untuk yang Sangat Tidak setuju
nilainya 1. Sebaliknya, untuk aitem yang unfavorabel nilai skala Sangat Setuju
adalah 1 sedangkan untuk yang sangat tidak setuju nilainya 5. Seperti halnya
skala Thurstone, skala Likert disusun dan diberi skor sesuai dengan skala
interval sama (equal-interval scale).
Unobstrusive
Measures.
Metode ini
berakar dari suatu situasi dimana seseorang dapat mencatat aspek-aspek
perilakunya sendiri atau yang berhubungan sikapnya dalam pertanyaan.
3.
Multidimensional Scaling.
Teknik ini memberikan deskripsi seseorang lebih kaya bila dibandingkan
dengan pengukuran sikap yang bersifat unidimensional. Namun demikian, pengukuran
ini kadangkala menyebabkan asumsi-asumsi mengenai stabilitas struktur
dimensinal kurang valid terutama apbila diterapkan pada lain orang, lain isu,
dan lain skala aitem.
Organisasi
Sikap
Teori
Balance dan teori konsistensi lainnya berasumsi bahwa seseorang akan cenderung
mencari struktur evaluatif yang sederhana dengan yang dievaluasi oleh orang
lain dan objek-objek dipandang sebagai hal yang berhubungan satu dengan
lainnya.
Keseimbangan bukannya satu-satunya prinsip yang mempengaruhi persepsi
seseorang mengenai hubungan antar elemen dalam struktur sikap. Prinsip lain
yang juga penting antara lain adalah preferensi untuk menilai positif, hubungan
, dan adanya kepercayaan tentang skript situasional yang relevan, atau
serangkaian aturan ipmlikasi yang sederhana dan hipotesis kausal.
Penelitian mengenai kompleksitas kognitif menekankan pada perbedaan
individual dalam toleransi seseorang terhadap ambiguitas dan kebutuhan nyata
untuk mengatasi inkonsistensi. Semakin kompleks kognitifnyaindividu akan
semakin mencari informa
D. Pengertian prasangka
Prasangka
merupakan evaluasi kolompok atau seseorang yang mendasarkani diri pada
keanggotaan dimana seseorang tersebut menjadi anggotanya. Prasangka juga
merupakan evaluasi negative terhadap out group dan fenomena yang hanya bias
ditemui dalam kehidupan social. Munculnya prasangka merupakan akibat dariadanya
kontak-kontak social antaran berbagai individu didalam masyarakat. Seseorang
tidak mungkin berprasangka bila tidak pernah mengalami kontak social dengan
individulain.akan tetapi prasangka tidak semata-mata dimunculkan oleh factor
social
Prasangka (prejudice) adalah
sebuah sikap (biasanya negatif) terhadap anggota kelompok tertentu, semata
berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut (Baron & Byrne,
2003). Sementara itu, Definisi klasik prasangka pertama kali diperkenalkan oleh
psikolog dari Universitas Harvard, Gordon Allport, yang menulis konsep itu
dalam bukunya, The Nature of Prejudice in 1954. Istilah itu berasal dari kata
praejudicium, yakni pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan
perasaan atau pengalaman yang dangkal terhadap seseorang atau sekelompok orang
tertentu.
Lanjut
Allport, “Prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau
generalisasi yang tidak luwes. Antipati itu dapat dirasakan atau dinyatakan.
Antipati bisa langsung ditujukan kepada kelompok atau individu dari kelompok
tertentu. “Kata kunci dari definisi Allport adalah”antipati”, yang oleh
Webster’s Dictionary disebut sebagai “perasaan negatif”. Allport memang sangat
menekankan bahwa antipati bukan sekedar antipati pribadi, melainkan antipati
kelompok.
Pengertian
prasangka menurut para ahli:
1)
Johnson (1986) mengatakan, prasangka
adalah sikap positif atau negatif berdasarkan keyakinan stereotip kita tentang
anggota atau kelompok tertentu. Seperti halnya sikap, prasangka meliputi
keyakinan untuk mengambarkan jenis pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan
peringkat nilai yang kita berikan. Prasangka yang berbasis ras kita sebut
rasisme, sedangkan yang berdasarkan etnik kita sebut etnisisme.
2)
Menurut Jones (1986), prasangka
adalah sikap antipati yang berlandaskan pada cara mengeneralisasi yang salah
dan tidak fleksibel. Kesalahan itu mungkin saja diungkapkan secara langsung
kepada orang yang menjadi anggota kelompok tertentu. Prasangka merupakan sikap
negatif yang diarahkan kepada seseorang atas dasar perbandingan dengan kelompok
sendiri.
3)
Daft (1999) memberikan definisi
prasangka lebih spesifik yakni kecenderungan untuk menilai secara negatif orang
yang memiliki perbedaan dari umumnya orang dalam hal seksualitas, ras, etnik,
atau yang memiliki kekurangan kemampuan fisik.
4)
Soekanto (1993) dalam ‘Kamus
Sosiologi’ menyebutkan pula adanya prasangka kelas, yakni sikap-sikap
diskriminatif terselubung terhadap gagasan atau perilaku kelas tertentu
5)
Effendy (1981), sebagaimana dikutip
Liliweri (2001), mengemukakan bahwa prasangka merupakan salah satu rintangan
atau hambatan berat bagi kegiatan komunikasi, karena orang yang berprasangka
belum apa- apa sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang melancarkan
komunikasi.
Dalam
prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar syakwasangka,
tanpa menggunakan pikiran dan pandangan kita terhadap fakta yang nyata. Karena
itu, sekali prasangka itu sudah mencekam, orang tidak akan dapat berpikir
objektif, dan segala apa yang dilihatnya selalu akan dinilai secara negatif.
Dari
beberapa pengertian di atas, kita dapat menyatakan bahwa prasangka mengandung
sikap, pikiran, keyakinan, kepercayaan, dan bukan tindakan. Jadi, prasangka
tetap ada di pikiran.
E.
Sumber-sumber
prasangka
Menurut
Zastrow (1989) mengemukakan bahwa prasangka bersumber dari :
1)
proyeksi (upaya mempertahankan ciri
kelompok etnik/ras secara berlebihan);
2)
frustasi, agresi, kekecewaan yang
mengarah pada sikap menentang;
3)
ketidaksamaan dan kerendahdirian;
4)
kesewenang-wenangan;
5)
alasan historis;
6)
persaingan yang tidak sehat dan
menjerumus kedalam eksploitasi;
7)
cara-cara sosialisasi yang berlebihan; dan
8)
cara memandang kelompok lain dengan
pandangan sinis.
Sumber
prasangka dibagi atas 4 bagian, yaitu :
- Konflik langsung antar kelompok. Berdasarkan Teori Konflik Realistik (Realistic Conflict Theory) di mana prasangka muncul karena kompetisi antar kelompok social untuk memperoleh kesempatan atau komoditas yang berharga yang berkembang menjadi rasa kebencian, prasangka dan dasar emosi.
- Pengalaman awal. Berdasarkan Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory), prasangka dipelajari dan dikembangkan dengan cara yang sama serta melalui mekanisme dasar yang sama, seperti sikap yang lain yakni melalui pengalaman langsung dan observasi/vicarious. 3.
- Kategorisasi Sosial, yakni kecenderungan untuk membuat kategori social yang membedakan antara in-group—“kita”—dengan out-group—“mereka”. Kategori social ini menjadi prasangka, dapat dijawab berdasarkan Teori Identitas Sosial (Identitty Theory) dari Tajfel.
- Stereotip—kerangka berpikir kognitif yang terdiri dari pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok social tertentu dan traits tertentu yang mungkin dimiliki oleh orang yang menjadi anggota kelompok-kelompok ini. Ketika sebuah stereotip diaktifkan, trait-trait ini lah yang dipikirkan. Stereotip mempengaruhi pemprosesan informasi social (diproses lebih cepat dan lebih mudah diingat), sehingga mengakibatkan terjadinya seleksi pada informasi—informasi yang konsisten terhadap stereotip akan diproses sementara yang tidak sesuai stereotip akan ditolak atau diubah agar konsisten dengan stereorip.
Jhonson
(1986) mengemukakan, prasangka itu di sebabkan oleh:
a)
menggambarkan perbedaan antar
kelompok;
b)
nilai-nilai budaya yang dimiliki
kelompok mayoritas sangat menguasai
kelompok etnik dan ras yang merasa superior sehingga menjadikan etnik
atau ras lain inferior.[2]
F. Mengatasi prasangka
Berikut berbagai cara untuk mengatasi prasangka, diantaranya adalah :
- Memutuskan siklus prasangka: belajar tidak membenci karena dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain. Dengan cara mencegah orang tua dan orang dewasa lainnya untuk melatih anak menjadi fanatic.
- Berinteraksi langsung dengan kelompok berbeda: i) contact hypothesis—pandangan bahwa peningkatan kontak antara anggota dari berbagai kelompok sosial dapat efektif mengurangi prasangka diantara mereka. Usaha-usaha tersebut tampaknya berhasil hanya ketika kontak tersebut terjadi di bawah kondisi-kondisi tertentu. ii) extended contact hypothesis—sebuah pandangan yang menyatakan bahwa hanya dengan mengetahui bahwa anggota kelompoknya sendiri telah membentuk persahabatan dengan anggota kelompok out-group dapat mengurangi prasangka terhadap kelompok tersebut.
- Kategorisasi ulang batas antara “kita” dan “mereka” hasil dari kategorisasi ulang ini, orang yang sebelumnya dipandang sebagai anggota out-group sekarang dapat dipandang sebagai bagian dari in-group.
- Intervensi kognitif: memotivasi orang lain untuk tidak berprasangka, pelatihan (belajar untuk mengatakan “tidak” pada stereotype).
- Pengaruh social untuk mengurangi prasangka.[3]
BAB III
PENUTUP
Dari
pembahasan di atas dapat kita tarik beberapa kesimpulan kecil,yakni :
·
Definisi sikap
Sikap adalah keadaan diri dalam manusia yang menggerakkan
untuk bertindak atau berbuat dalam kegiatan sosial dengan perasaan tertentu di
dalam menanggapi obyek situasi atau kondisi di lingkungan sekitarnya. Selain
itu sikap juga memberikan kesiapan untuk merespon yang sifatnya positif atau
negatif terhadap obyek atau situasi
·
Definisi sikap menurut para ahli :
1. Menurut Sarnoff (dalam Sarwono, 2000) mengidentifikasikan sikap sebagai
kesediaan untuk bereaksi (disposition to react) secara positif (favorably)
atau secara negatif (unfavorably) terhadap obyek – obyek tertentu.
D.Krech dan R.S Crutchfield (dalam Sears, 1999) berpendapat bahwa sikap sebagai
organisasi yang bersifat menetap dari proses motivasional, emosional,
perseptual, dan kognitif mengenai aspek dunia individu.
2. Sedangkan La Pierre (dalam Azwar, 2003) memberikan definisi sikap sebagai
suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk
menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah
respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Lebih lanjut Soetarno
(1994) memberikan definisi sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai
kecenderungan untuk bertindak terhadap obyek tertentu. Sikap senantiasa
diarahkan kepada sesuatu artinya tidak ada sikap tanpa obyek. Sikap diarahkan
kepada benda-benda, orang, peritiwa, pandangan, lembaga, norma dan lain-lain.
·
Terbentuknya
sikap ada 6 :
1)
Pengalaman pribadi
2)
Kebudayaan.
3)
Orang lain yang
dianggap penting
4)
Media massa.
5)
Institusi Pendidikan
dan Agama.
6)
Faktor emosi dalam diri
·
Sumber prasangka dibagi atas 4
bagian, yaitu :
1)
Konflik langsung antar kelompok.
2)
Pengalaman awal.
3)
Kategorisasi Sosial,
4)
Stereotip
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
[1] http://www.duniapsikologi.com/sikap-pengertian-definisi-dan-faktor-yang-mempengaruhi/
( diakses 27 April 2012 )
[2] http://ikappsj.blogspot.com/2011/08/bahan-makalah-prasangka-dan.html
( diakses 27 April 2012 )
No comments:
Post a Comment